Viyasa
Rahyaputra
11/317798/SP/24688
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia
Pentingnya
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebenarnya telah mulai
dibahas di dunia sejak zaman kerajaan inggris abad ke-12 dengan piagam Magna
Cartanya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, ditambah dengan Perang Dunia
yang terjadi di abad ke-19 yang menggambarkan begitu banyak kasus pelanggaran
HAM menyebabkan pentingnya pembahasan kembali dan usaha membuat masyarakat dan
pemerintah dunia kembali sadar betapa pentingnya isu ini. Karena itu lah, pada
tanggal 10 Desember 1948, melalui sidang Majelis PBB, di deklarasikan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia.[1]
Setidaknya,
deklarasi ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu mukadimah atau pembukaan dan
isi yang brisi 30 pasal[2].
Bagian mukadimah mengangkat latar belakang dan urgensi terhadap perlindungan
dan pemenuhan HAM di dunia sejak terjadinya perang dunia pertama dan kedua.
Bagian ini dengan tegas mengatakan pentingnya sebuah perlindungan atas hak –
hak manusia dengan peraturan hukum. Hal ini mengindikasikan adanya tahap lebih
lanjut yang diharapkan dan lebih diperhatikan, yaitu agar nantinya ada follow up actions berupa peraturan hukum
demi semakin terjaminnya hak – hak manusia.
Secara
keseluruhan, pasal – pasal dalam deklarasi ini telah mencakup hampir semua hak
– hak dasar yang harus dan wajib dimiliki oleh manusia . Pasal – pasal awal,
yaitu pasal 1-5 menggambarkan hak dasar manusia, yaitu bahwa adanya persamaan
derajat sejak manusia dilahirkan, pentingnya menjalin persaudaraan, kebebasan,
serta pengecaman terhadap perbudakan, perdagangan manusia, dan perlakuan
sadistis dan tidak manusiawi terhadap sesama manusia. Bagian ini menekankan
kembali bahwa hak – hak ini merupakan hak paling dasar dalam kehidupan manusia,
maka dar itu harus pertama kali dipenuhi sebelum hak – hak lainnya.
Pasal
– pasal selanjutnya, yaitu pasal 6-11 membahas hak – hak manusia di depan
hukum, antara lain pentingnya pengakuan manusia di depan hukum, tidak boleh adanya diskriminasi, penangkapan
sewenang – wenang, perlakuan adil, serta pentingnya asas praduga tak bersalah
di depan hukum. Sejalan dengan pasal –
pasal di atasnya, pasal – pasal berikutnya, yaitu pasal 12-17 lebih banyak
membahas hak – hak privasi manusia posisinya sebagai warga negara. Hal – hal
tersebut antara lain hak untuk menikah dan memiliki harta serta perlindungan
atas keduanya, serta hak memiliki kewarganegaraan. Pasal – pasal selanjutnya,
yaitu pasal 18-21 lebih banyak membahas hak manusia dalam bersuara dan berpendapat.
Tidak hanya berhenti di situ, pasal
22-24 membahas hak – hak pekerja dan buruh yang sebelumnya banyak diabaikan
oleh banyak pihak. Pasal 25-27 lebih banyak membahas hak kesejahteraan
keluarga, ibu dan anak, serta pendidikan dan hak dalam berkarya seni dan
budaya. Hal yang menarik adalah pada pasal 26 ayat (3) menyebutkan : “Parents have a prior right to choose the
kind of education that shall be given to their children.” Disebutkan bahwa
orang tua berhak memilih pendidikan yang akan dianut oleh anaknya. Ada
kontradiksi di poin ini, di mana pada ayat sebelumnya dijaminkan sebuah jaminan
sosial dan kesejahteraan kepada ibu dan anak, namun di pasal ini justru
memberikan paradigma bahwa orang tua memiliki otoritas penuh atas anaknya,
termasuk dalam pendidikan. Mungkin hal ini masih tercantum dikarenakan latar
belakang sosial budaya masyarakat dunia saat itu yang masih terkesan stereotip.
Namun tetap saja harus digarisbawahi bahwa pada poin ini, hak anak masih
terpasung dan belum benar – benar diakui.
Pasal selanjutnya yang merupakan
tiga pasal terakhir lebih menekankan kembali bahwa selain memiliki hak, manusia
memiliki kewajiban, yaitu antara lain mematuhi dan tunduk kepada aturan negara
nya. Kembali ada sedikit kontradiksi di sini. Pasal ini seakan – akan telah
yakin betul bahwa setiap UU yang diciptakan oleh pemerintah telah memberikan
jaminan terhadap HAM. Padahal, kenyataannya tidak, banyak UU dan peraturan yang
justru memasung hak rakyat. Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan
presiden Soeharto misalnya, di mana pemasungan hal untuk berpendapat benar –
benar dibatasi dan tidak dibiarkan untuk berkembang.
Akhirnya, deklarasi ini dijadikan
sebuah standar dan tolak ukur bagi penerapan dan perlindungan HAM di dunia era
kontemporer ini. Banyak UU dan peraturan di Indonesia misalnya, yang didasarkan
pada deklarasi ini, seperti TAP MPR No. XVII/MPR/1998[3]
tentang HAM, serta pendirian KOMNASHAM di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar