Dimas Valdy Heryana Putra
11/24950
Review Universal Declaration of Human Rights
Universal Declaration of Human Rights (1948) adalah
sebuah “pernyataan” dari seluruh umat
manusia mengenai HAM. Meskipun dalam sejarahnya terdapat banyak perdebatan dalam
pembentukanya, namun akhirnya deklarasi tersebut dapat diterima oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Pengertian HAM yang dimaksudkan di sini
adalah HAM dalam arti universal atau HAM yang dianggap berlaku bagi semua
bangsa. Dimulai dari pengertian dasar, yaitu hak-hak yang diberikan langsung
oleh Tuhan atau disebut juga sebagai hak-hak dasar yang bersifat kodrati.
Definisi HAM sekalipun sudah memiliki rumusan yang konkret, akan tetapi masih
membawar persoalan yang sesungguhnya dapat melanggar butir-butir pokok di dalam
definisi HAM itu sendiri. PBB melalui organisasi-organisasi independen
seringkali masih memaksakan definisi HAM berlaku bagi semua bangsa. Sementara
itu, setiap bangsa terbentuk dan dibentuk dari situasi dan sejarah masa lalu
yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya. Jika saja pemaksaan kehendak
dianggap melanggar HAM, maka pelaksanaan konsep HAM itu sendiri tidak boleh
dipaksakan begitu saja.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu permasalahan
yang telah menjadi sebuah topik hangat di dunia pada saat ini. Hal ini timbul
dikarenakan masalah HAM menyangkut kehidupan manusia, baik sebagai makhluk
Tuhan maupun makhluk social. Dalam aktualisasinya, dalam instrument HAM yang
tercantum dalam UDHR dapat ditarik beberapa kritik.
Pertama, HAM dipandang tidak efektif bagi
negara-negara yang meratifikasi UDHR ataupun tidak. Dalam konsepnya, HAM tidak
memiliki ikatan yang kuat atas regulasi maupun aturan yang jelas jika suatu
negara melakukan pelanggaran atas nama HAM. Hal ini dapat dilihat dari tindakan
invasi Amerika ke Irak yang secara common-sense
maupun empiris terlihat jelas melanggar HAM warga sipil Irak. Kedua, HAM
dipandang terlalu mengeneralisasikan masyarakat yang ada. Dalam prakteknya,
dikenal konsep “one-size-fits-all” yang
dipakai untuk masyarakat yang multikutural dan bermazhab politik berbeda. Dalam
hal tersebut, HAM dinilai telah menodai tentang adanya perbedaan dan HAM
dipandang sangat “individualistik” dibandingkan dengan klaim bahwa HAM
berdasarkan “masyarakat umum”. Contohnya, Arab Saudi yang tidak menyetujui
banyak prinsip HAM karena bertentangan dengan hokum syariat Islam yang ada,
seperti contoh HAM membolehkan adanya perkawinan antar agama. Dalam kacamata
lain, diterapkannya HAM secara universal merupakan bentuk upaya meliberalisasi
dunia secara utuh. Hal tersebut jelas menimbulkan konflik bagi Negara yang
tidak memiliki ideologi sejalan seperti “sang penemu HAM”, yaitu masyarakat
liberal Eropa. Ketiga, HAM selama ini terlalu banyak memberikan janji tanpa
adanya aktualisasi bagi terselesaikannya masalah. Selama ini masih banyak
negara yang melakukan pelanggaran HAM bagi rakyatnya maupun rakyat negara lain,
hal ini mungkin berbatasan dengan konsepsi HAM yang berkonsentrasi tentang
pemecahan masalah bukan pencegahan masalah.
Hak asasi manusia merupakan sebuah dinamika baru
dalam dunia politik internasional, dalam era yang global sebuah negara tak
dapat menghindari sebuah isu dengan begitu saja. Walaupun kita tidak bisa
mengetahui bagaimana atau seperti apa masa depan dari hak asasi manusia, kita
sebagai masyarakat global tak dapat menghindari hal ini, tetapi kita semua
diharuskan untuk menyelesaikan banyak problem yangsaat ini mungkin belum bisa
terselesaikan oleh tangan-tangan HAM. Setiap manusia yang terlibat dalam
penegakan ataupun pembelajar studi HAM pasti memiliki cara sendiri dalam
memandang. Meskipun terdapat banyak kebiasan ataupun debat, dalam studi ini
kita semua dapat belajar bagaimana harus memperlakukan orang lain dengan
semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar