Jumat, 06 April 2012

Critical Review ICESCR


Mohammad Ridwan Riyadi
11/317925/SP/24808
Critical Review ICESCR (Pelaksanaan Di Indonesia)
            Isu tentang hak asasi manusia telah berkembang dengan pesat sejak awal abad kedua puluh. Pada dasarnya, HAM mengatur tentang perlindungan hak-hak pribadi, namun fokus masyarakat internasional lebih kepada perlindungan hak sipil dan hak politik. Ernst-Ulrich Petersmenn menyatakan bahwa pada abad ke-20, dunia mengalami “revolusi HAM” tentang penekanan hak-hak ekonomi dan sosial-budaya.[1] Hal tersebut tidak lepas dari peranan Franklin Roosevelt dalam mengatasi tingkat pengangguran tinggi yang terjadi di Amerika Serikat. Penekanan hak-hak ekonomi dan sosial-budaya yang dimiliki tiap orang ini dibuktikan dengan dibuatnya International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) pada 16 Desember 1966 yang merupakan salah satu instrumen dalam Universal Declaration of Human Rights.
            Dalam kovenan ini, sebagaimana dituliskan pada pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa “semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak tersebut memberikan mereka kebebasan untuk menentukan status politik dan untuk meraih kemajuan ekonomi, sosial, dan budaya”.[2] Hak ekonomi, mencakup hak atas pekerjaan dan buruh; hak sosial, mencakup hak untuk mendapatkan standar kehidupan layak, hak atas keluarga, serta hak kesehatan fisik dan mental; hak budaya, mencakup hak atas pendidikan serta hak kehidupan budaya dan iptek. Indonesia baru meratifikasi kovenan ini pada tahun 2005 setelah diberlakukannya UU No.11 tahun 2005.[3] Hal ini diharapkan bisa membawa kondisi yang lebih kondusif bagi pemajuan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di dalam negeri ini. Namun, nampaknya Indonesia masih belum bisa melaksanakan isi dari kovensi tersebut secara maksimal.
            Terdapat beberapa kebijakan pembangunan daerah yang justru malah semakin menyisihkan masyarakat miskin Indonesia. Misalnya saja pada tahun 2005, pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp.4,7 triliun untuk 15,5 juta keluarga miskin, dana pelayanan kesehatan sebesar Rp.7,4 triliun, dan untuk pendidikan sebesar Rp.21,5 triliun, sementara anggaran untuk membayar hutang sebesar Rp.64 triliun.[4] Dampak kebijakan ini terlihat dalam kasus penghapusan subsidi, komersialisasi pelayanan kesehatan, hilangnya lahan untuk pangan, dll. Kebijakan pembangunan yang berpihak pada usaha bisnis skala besar seperti perijinan usaha, pertambangan, dan perkebunan kepada pihak asing juga telah memberi dampak negatif bagi masyarakat sekitar, khususnya masyarakat miskin. Kerusakan alam yang menimbulkan bencana dapat berdampak pada hilangnya hak dasar warga, termasuk untuk hidup layak. Penggusuran lahan pertanian untuk dijadikan area perumahan dan industri juga cenderung mengorbankan hak dasar warga yang lemah secara ekonomi. Kebijakan-kebijakan ini telah berdampak pada meluasnya kemiskinan dan dilanggarnya hak dasar warga. Dalam pelaksanaan instrumen hak asasi manusia, khususnya dalam hal ekosob, kinerja pemerintah masih kurang maksimal dan masih banyak diperlukan perbaikan. Dalam pertemuan Komnas HAM dengan Panitia Rencana Aksi HAM menunjukan, mayoritas aparat pemerintah tidak memahami bahwa hak ekosob ini juga merupakan bagian dari hak asasi manusia.[5]


[1] Adolf, Huala. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar. Dikutip dari <http://binchoutan.files.wordpress.com/2008/03/ham-dan-hk-ekonomi-internasional.pdf> pada tanggal 07 April 2012 pukul 07:50.
[2] International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Preambule, Alinea 3.
[3] Musa Abubar, ‘Hak Ekosob: Pelangaran HAM Berat Yang Terabaikan’. TabloidJubi.com. <http://tabloidjubi.com/index.php/featuresa/interviews-a-indepth-stories/15740-hak-ekosob--pelanggaran-ham-berat-yang-terabaikan>, diakses pada tanggal 07 April 2012 pukul 08: 17.
[4] Ahmad Baso, ‘Hak Ekosob Di Indonesia’. Syarikat Indonesia. <http://tabloidjubi.com/index.php/featuresa/interviews-a-indepth-stories/15740-hak-ekosob--pelanggaran-ham-berat-yang-terabaikan>. Diakses pada tanggal 07 April 2012 pukul 07:28.
[5] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar