Jumat, 06 April 2012

Critical Review on ICESCR


Dimas Valdy Heryana Putra
 (11/320211/SP/24950)

Critical Review on ICESCR

ICESCR (International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights) bersama dengan Universal Declaration of Human Rights dan ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights) melebur dalam satu jiwa dan membentuk badan integral yang baru dan akhirnya dikenal sebagai International Bill of Human Rights. Dalam takarannya, ICESCR, sesuai dengan namanya, memfokuskan pada penyamaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat dunia. Dari konvenan ini, dikenal lima bagian dan bagian ketiga yang menjadikan isi pokok dari konvenan ini. Bagian tersebut mengakomodasi hak pendidikan, hak jaminan sosial, hak pekerja, hak katas kesehatan yang layak, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya. Walaupun konvenan ini berdiri dengan asas dan tujuan yang baik bagi masyarakat umum, konvenan ini tidak terhindar dari adanya kritik dan ambiguitas.
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya termasuk kedalam hak asasi universal manusia yang harus dijaga dan dilindungi. Dalam hal ini, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tidak membeda-bedakan antara hak-hak ekosob dengan hak-hak sipil dan politik[1]. Namun demikian, hak-hak sipil dan politik jauh lebih mengemuka ketimbang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga ada kecenderungan bahwa hak asasi manusia itu identik dengan hak-hak sipil dan politik saja. Ini merupakan pengaruh paham liberal yang sangat dominan dalam konsep HAM. Pemahaman liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan individual memang sangat mengagungkan kebebasan sipil dan politis.
            Namun perlu untuk diingat bahwa hak asasi manusia bersifat interdependen (antara satu dengan yang lain saling tergantung). Hak-hak sipil dan politik harus disokong oleh hak-hak dibidang ekosob, begitu juga sebaliknya.[2] Sebagai contoh, ketika kita menuntut kebebasan berbicara, berkeyakinan, atau berserikat dan berkumpul, tentunya hal itu juga harus ditopang oleh kesejahteraan: memiliki pekerjaan yang layak, pendidikan yang baik atau lingkungan yang sehat. Apa gunanya memiliki kebebasan politis jika masih harus berjuang untuk tidak kelaparan? Apa gunanya menuntut kebebasan berbicara tapi akses pada pendidikan yang baik, yang dapat mencerdaskan masih sulit untuk didapat. Begitupun sebaliknya, ketika kita menghendaki kondisi kerja yang adil dan aman bagi pekerja, atau standar kehidupan yang memadai pada masyarakat, maka aspirasi demikian hanya bisa disampaikan jika ada kebebasan sipil berupa kebebasan untuk berpendapat. Pendeknya hak-hak ekonomi, sosial dan politik tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain.
Dalam praktiknya, pemberlakuan hak ekosob ini sangat rentan dalam kritik karena konsepnya yang dirasa kurang tepat sasaran dan masih samar. Diyakini bahwa secara kodrati, hak sesungguhnya tidak memiliki kejelasan –tidak seperti hukum. Dan karena kurangnya kejelasan konseptual inilah yang kurang mendukung untuk pelaksanaannya.[3] Secara mendasar, ketidakefektifan penggunaan ‘hak-hak’ ini dikarenakan oleh gagalnya hal tersebut dalam menguraikan batas dan kewajiban yang dikenakan oleh negara.[4] Selain daripada adanya tumpang-tindih dalam konsep ICESCR dan ICCPR, konsep ICESCR tidak mengikat secara hukum, sehingga bagi negara hal ini dirasa sangat longgar untuk tidak diberlakukan. Contohnya, dalam hak kesehatan yang layak, suatu negara berkewajiban untuk meningkatkan segala aspek kebersihan lingkungan dan industri masyarakat, tidak ada satu hal pun dalam ICESCR yang menggarisbawahi tentang tindakan apa ataupun hukum apa yang harus dilakukan untuk implementasi berlakunya hak tersebut.[5] Artinya, setiap negara diberikan kebebasan untuk menginterpretasikan standarnya sendiri tanpa batasan yang jelas.
Konsep-konsep ICESCR bagi negara-negara berkembang dirasa sangat utopis untuk dilaksanakan, hal ini dapat dilihat dari beberapa realita yang terjadi di masyarakat. Di Indonesia, pelayanan kesehatan publik dirasa masih kurang memadai, dilihat dari minimnya sarana kesehatan seperti rumah sakit, obat-obatan, dan pelayanan lain yang kurang merata dalam distribusinya. Hal ini dapat kita lihat di Lombok Timur, dalam satu kawasan yang besar dan padat penduduk hanya didirikan satu rumah sakit pemerintah dan hanya tersedia sekitar 5 orang dokter spesialis untuk menangani ratusan pasien, bahkan dalam satu hari sekitar 4 orang meninggal dalam rumah sakit tersebut karena lambatnya penanganan dari pihak rumah sakit.[6] Mungkin, bagi negara-negara maju dengan konsep welfare state-nya memang bisa melaksanakan konsep ICESCR dengan lebih baik. Tetapi, akankah lebih baik jika negara-negara berkembang juga dapat melaksanakan konsep mulia ini dengan seksama?
Sejatinya, perjuangan untuk menegakan dan melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya memang sangat membutuhkan kesabaran ekstra. Hasilnya belum tentu bisa dinikmati dalam waktu yang sekejap. Dalam negara-negara yang concern dengan hak-hak warganya bergerak dalam evolusi merupakan yang cukup lama. Apa yang terjadi di wilayah Eropa (khususnya negara-negara Skandinavia) dengan negara kesejahteraannya (welfare state) adalah hasil dari pergulatan yang panjang antara hak-hak individu, negara, ekonomi dan masyarakat.
            Hak-hak asasi manusia yang universal itu merupakan hasil proses pengalaman panjang bangsa-bangsa barat. Indonesia yang tidak memiliki tradisi perlindungan hak asasi manusia, mungkin membutuhkan waktu lebih lama lagi. Namun kita harus optimis bahwa perlindungan dan penegakan hak-hak tersebut tetap bisa diaplikasikan di negeri ini, mengingat karakternya yang universal. Tanpa kegigihan dalam memperjuangkan hak-hak tersebut, maka, “kontrak sosial” yang kita lakukan dengan negara niscaya sia-sia. Karena, negara dibentuk untuk mensejahterakan dan melindungi kepentingan warganya.



[1]Mc Chesney, Alan. “Memajukan dan Membela Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, cet 1, (Yogyakarta, Insist Press, 2003)
[2] Ibid
[3] Wiles, Aspirational Principles or Enforceable Rights? The Future for Socio-Economic Rights in
National Law (2006-7) 22 American University International Law Review. Hal. 50 dalam Jurnal ilmiah Brennan, Marietee. “To Adjudicate and Enfornce Socio-Economic Righs: South Africa Proves That Domestic Courts Are A Viable Option”
[4] Jheelan, The Enforceability of Socio-Economic Rights (2007) Issue 2 European Human Rights
Law Review. Hal 147.
[5] ICESCR, opened for signature 16 December 1966, 999 UNTS 3, 6 ILM, art 12 (entered into force 3
January 1976). dalam Jurnal ilmiah Brennan, Marietee. “To Adjudicate and Enfornce Socio-Economic Righs: South Africa Proves That Domestic Courts Are A Viable Option”
[6] Wawancara langsung kepada dr. Erdiansyah Zulyadaini, seorang dokter Rumah Sakit Pemerintah Selor, Lombok Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar