Minggu, 29 April 2012

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia Case : The Arrest of Ratko Mladic


Rifa Fatharani
11/312135/SP/24496
PSHAM B
Tugas Review Pengadilan Internasional

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
Case : The Arrest of Ratko Mladic

     Pengadilan Kriminal Internasional di negara bagian pecahan Yugoslavia merupakan suatu resolusi dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB yang dibentuk dengan tujuan menyelidiki, mengadilkan para individu yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia atau kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida di wilayah Yugoslavia. Para Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat memilih untuk mendirikan ICTY pada tanggal 25 Mei 1993 serta menilai bahwa pembunuhan massal, pembersihan etnis, penyiksaan, perkosaan dan kejahatan lain yang terjadi pada saat konflik di wilayah Yugoslavia merupakan ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional.1 Konflik besar – besaran mendorong masyarakat internasional untuk turut memberikan berbagai macam kepedulian, pembelaan terhadap pelanggaran konvensi Jenewa 1949. Individu yang melakukan pelanggaran HAM dan kejahatan humanitar pada konflik di masa itu, telah menimbulkan reaksi masyarakat agar segera ditindaklanjut permasalahannya dalam proses hukum oleh pihak berwenang. Khusus untuk daerah wilayah negara – negara mantan Yugoslavia, berdasarkan historis terdapat banyak pelanggaran HAM yang timbul. Maka dari itu, Pengadilan Kriminal Internasional tersebut didirikan dengan tujuan mengadili dan menuntut orang yang melakukan tindakan kriminal agar bertanggung jawab dan diberikan hukuman semestinya. Sebagai sebuah institusi hukum, ICTY ini dikhususkan untuk melakukan transparansi peradilan atau dalam kata lain, segala catatan atau dokumen pengadilan dapat diakses oleh umum. Pengadilan Kriminal Internasional untuk negara mantan Yugoslavia mencatat jumlah kasus atau orang dari asal etnis dan pekerjaannya dengan jumlah 161 orang yang telah didakwa.2 ICTY telah berhasil menjalankan fungsinya demi keadilan dan kesejahteraan sosial.

     Dalam kasus berikut ini, akan menjelaskan tentang kasus seorang pejabat negara yang melakukan pelanggaran HAM terhadap warga sipil. Maka demikian, orang tersebut tidak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari negara akan tetapi mendapatkan hukum yang setimpal berdasarkan hasil dari pengadilan ICTY ini, terutama bagi para pejabat negara – negara di Yugoslavia. Degan kata lain bahwa ICTY ini tidak pandang bulu bagi orang – orang yang melakukan pelanggaran HAM dan dengan jelas bahwa setiap individu sangat berpengaruh terhadap penegakkan hukum dan HAM ini.

     Hal ini dapat dibuktikan dalam kasus penangkapan seorang komandan senior militer Serbia Bosnia Angkatan Darat selama perang di Bosnia dan Herzegovina bernama Ratko Mladic. Penangkapan baru dilakukan pada tahun 2011 sejak didakwanya Mladic pada tahun 1995 oleh ICTY. Mladic didakwa dengan 15 tuduhan genosida dan kejahatan perang terhadap kemanusiaan, terutama terhadap warga sipil Muslim Bosnia, Kroasia Bosnia dan non – Serbia di wilayah Bosnia Herzegovina pada tahun 1992-1995.3 Mladic dikenal sebagai sosok pembersih etnis dengan tujuannya memusnahkan Muslim Bosnia di wilayahnya. Mladic bersama rekannya berniat untuk melakukan genosida yang berarti berniat untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok – kelompok tertentu, etnis, ras atau agama. Sebagai perwira paling senior dari tentara Serbia Bosnia dengan demikian para tentara lainnya tunduk kepada komandan untuk melakukan aksi pemberishan etnis Muslim Bosnia. Dalam arti bahwa, ia memiliki kendali dan kekuasaan dalam melakukan tindakan kriminal sehingga telah berlangsung efektif pada masa perang tersebut.

     Berdasarkan catatan publik mengenai kasus pelanggaran HAM dan kejahatan humanitar terberat dari pihak negara sendiri dan terlama proses penangkapannya, Ratko Mladic didakwa dengan kejahatan yang meliputi sebagai berikut:4
  • Pembunuhan hampir 8.000 pria Muslim Bosnia dan anak laki-laki di Srebrenica pada tahun 1995.
  • Pembunuhan, penganiayaan, pemindahan paksa, penahanan dan penganiayaan terhadap kaum Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia selama kampanye dengan tujuan menghapus permanen orang tersebut dari wilayahnya di bawah kendali kekuatan Republika Srpska.
  • Kampanye teror dan penembakan dan mengecam warga sipil di Sarajevo oleh pasukan Serbia Bosnia di bawah komandonya dan kontrol yang mengakibatkan pembunuhan dan melukai ribuan warga sipil, termasuk banyak wanita dan anak.
  • Pengambilan pengamat militer PBB dan personil pemelihara perdamaian sebagai sandera Mei dan Juni 1995.
     Walaupun proses penangkapan Mladic dalam jangka waktu lama, akan tetapi ICTY tetap konsisten dengan keputusan terdakwa untuk menahan dan menuntut Mladic. Mladic kemudian diadili lebih lanjut oleh pengadilan di Den Haag Belanda dan mendapatkan perhatian dunia internasional.

1About the ICTY (online), United Nations System in Serbia, <http://rs.one.un.org/index.php?org=8> diakses pada 26 April 2012.
2Key Figues (online), ICTY – The Cases, <http://www.icty.org/sid/24> diakses pada 26 April 2012.
3ICTY: Q&A on the Case against Ratko Mladic (online),<http://www.hrw.org/news/2011/05/31/icty-qa-case-against-ratko-mladic> diakses pada 26 April 2012.
4Statement of the Office of the Prosecutor, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia on the arrest of Ratko Mladic (online), ICTY, <http://www.icty.org/sid/10670> diakses pada 26 April 2012.

Jumat, 27 April 2012

Tugas Review International Tribunal for the Former Yugoslavia(Mira Sukmawati 11/317765/SP/24658)

   
          Berdasarkan pasal 39 Bab 7 Statuta PBB,konflik yang terjadi di Republik Federal Sosialis Yugosliavia/Yugoslavia sudah mengancam perdamaian dan kemanan dunia termasuk penduduk setempat.Akhirnya,muncul lah suatu resolusi dewan keamanan no. 827 tanggal 25 Mei 1993 yaitu PBB membentuk The International Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY)[1].Pengadilan internasional ICTY ini bersifat Ad Hoc.Artinya adalah bahwa pengadilan ini memiliki yurisdiksi terbatas dan waktu yang terbatas,hanya pada republik Yugoslavia dan terjadi usai 1991.ICTY memiliki tiga divisi yaitu Chambers(hakim-hakim yang bekerja di pengadilan tingkat pertama dan banding),Registry(organisasi yang mengurus administrasi,detention unit dan legal aid) dan OPT(melaksanakan investigasi).
          Tekanan publik dan adanya kenyataan bahwa terjadi tindakan pelanggaran HAM berat dapat memunculkan reaksi internasional bersama[2],dalam hal ini,melaksanakan upaya pembuatan ICTY.ICTY diharapkan dapat menyeret individu-individu yang memang terbukti melakukan pelanggaran kemanusiaan,genosida dan pelanggaran dalam konvensi Jenewa 1949.Laporan dan data yang didapat,ditindaklanjuti dan disidangkan.Adanya argument,fakta hukum yang jelas dan kesaksian korban/saksi mata dapat saja membuat pelaku tersebut membayar kesalahannya.Hal ini mengingat konflik tersebut tidak sederhana.Bangsa Kroasia dan nonSerbia dikeluarkan dari Kroasia,100.000 orang terbunuh,dua juta orang menjadi pengungsi sejak 1992-1995 di Bosnia Herzegovina,penyiksaan dan penembakan lainnya di Kosovo.
                ICTY memberikan beberapa dampak positif terhadap penegakan HAM.Dari sudut The Liberty Based Rights,individu bebas dari tindakan semena-mena negara.Dalam hal ini,ICTY mampu memberikan hukuman yang setimpal demi keadilan sosial.Setiap individu,utamanya masyarakat sipil,berhak atas hak hidup dan rasa aman dari tindakan sewenang-wenang kaum militer.Kedua,ICTY menjadi pelopor atas pemajuan dan penegakan HAM.International tribunal lain dibentuk seperti ICTR dan SCSL.Ketiga,pejabat negara sekalipun,yang notabene individu berpengaruh,tidak mendapatkan perlindungan jika ia memang terbukti bersalah dan secara sah meyakinkan bahwa ia melakukan pelanggaran HAM berat.Hal ini bisa dilihat dari apa yang dialami,Ratko Mladic,Radovan Karadžić dan Goran Hadžić.[3]


[1] Poscar,Fausto,ICTY,dilihat pada 27 April 2012 01:00 PM, http://untreaty.un.org/cod/avl/ha/icty/icty.html              
[2] Agussalim,Dafri,Penjelasan kelas PSHAM,27 April 2012                                  
[3] About the ICTY,dilihat pada 27 April 2012 01:10 PM,http://www.icty.org/sections/AbouttheICTY                                                                     

Kamis, 26 April 2012

Review Special Tribunal for Lebanon

Nama   : Adi Wira Bhre A.
kelas    : PSHAM B
NIM    : 11/ 317877/ SP/ 24762

Review Special Tribunal for Lebanon
Pada tanggal 13 Desember 2005, Pemerintah Republik Libanon meminta PBB untuk mendirikan pengadilan yang bersifat internasional untuk mengadili semua orang yang diduga bertanggung jawab atas serangan 14 Pebruari 2005 di Beirut yang menewaskan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri dan 22 orang lainnya. Berdasarkan resolusi Dewan Keamanan 1664 (2006), PBB dan Republik Lebanon dinegosiasikan kesepakatan mengenai pembentukan Pengadilan Khusus untuk Libanon. Selanjutnya resolusi Dewan Keamanan 1757 (2007) 30 Mei 2007, ketentuan dokumen terlampir dan Statuta Pengadilan Khusus dalamnya melekat, mulai berlaku pada tanggal 10 Juni 2007.
Mandat Pengadilan Khusus untuk Libanon adalah untuk mengadili orang yang bertanggung jawab atas serangan 14 Pebruari 2005 mengakibatkan kematian mantan Perdana Menteri Rafiq Hariri dan kematian atau cedera orang lain. Yurisdiksi Pengadilan bisa diperpanjang di luar pemboman 14 Februari 2005 jika Pengadilan menemukan bahwa serangan lain yang terjadi di Libanon antara 1 Oktober 2004 dan 12 Desember 2005 yang terhubung sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan pidana dan yang bersifat dan gravitasi mirip dengan serangan dari 14 Februari 2005. Koneksi ini termasuk namun tidak terbatas pada kombinasi dari unsur-unsur berikut: maksud kriminal (motif), tujuan serangan balik, sifat korban yang ditargetkan, pola serangan (modus operandi), dan para pelaku. Kejahatan yang terjadi setelah 12 Desember 2005 dapat memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam yurisdiksi Pengadilan di bawah kriteria yang sama jika diputuskan demikian oleh Pemerintah Republik Libanon dan PBB dan dengan persetujuan dari Dewan Keamanan.1
Ayyasy dkk. (STL-11-01) Kasus ini berkaitan dengan serangan terhadap mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri dan lain-lain pada tanggal 14 Februari 2005. Jaksa telah mengajukan dakwaan kepada hakim pra-peradilan pada 17 Januari 2011 dan telah diubah tiga kali (11 Maret, Mei 6, 10 Juni 2011). Dakwaan ini dikonfirmasi pada tanggal 28 Juni 2011.
Dakwaan dan surat perintah penangkapan atas ditransmisikan kepada pemerintah Lebanon pada 30 Juni 2011. Empat orang yang disebut dalam surat dakwaan adalah: Salim Jamil Ayyasy, Mustafa Amine Badreddine, Hussein Hassan Oneissi, Assad Hassan Sabra.2
Dengan adanya STL yang pada awalnya hanya menyangkut permasalahan di Libanon, dan kemudian oleh PBB bersama pemerintahan Libanon untuk menggunakannya juga pada permasalahan pada kasus yang mirip dengan kasus di libanon dapat memberikan proteksi pada negara-negara dibawah PBB dalam kasus yang serupa. Sehingga negara-negara yang mungkin nanti juga mendapat kasus yang sama. Dan STL ini disambut baik dengan PBB karena bisa menjadi salah implementasi dari tujuan didirikannya PBB adalah untuk perdamaian dunia. Dari sisi hak asasi manusia, STL bisa menjadi salah satu pemenuhan hak. Karena dengan adanya STL dapat memberikan hak hidup bagi para terdakwanya yaitu dengan mengesampingkan hukuman mati atau kerja paksa dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup.





Review ICTY (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia)

Erwin Handono
11/311853/SP/24444
PSHAM B

Review ICTY (International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia)

     ICTY didirikan melalui resolusi DK PBB yaitu Resolution 827, May 25 1993. Yurisdiksiyang dimiliki oleh ICTY adalah terhadap pelanggaran atas Geneva Conventions, pelanggaran terhadap hukum kebiasaan perang, genosida, dan kejahatan melawan kemanusiaan.
    Konflik ini melibatkan dua etnis dalam Yugoslavia, yakni etnis Bosnia dan etnis Serbia. Konflik ini berawal dari runtuhnya Yugoslavia yang pecah menjadi beberapa negara. Sehingga Bosnia yang menjadi bagian dari Serbia ingin memerdekakan diri. Namun, pada prosesnya, keinginan Bosnia untuk merdeka mengalami penentangan dari pihak Serbia.[1]
    Konflik ini semakin meningkat ketika Serbia membombardir ibukota Bosnia, Sarajevo dan kota lainnya dibombardir habis – habisan, gerilyawan Bosnia ditangkap dan disiksa dalam kamp – kamp konsentrasi dan puluhan ribu wanita muda dan gadis kecil Bosnia diperkosa. Data menyebutkan bahwa korban etnis Serbia sepanjang perang ini mencapai 200.000 orang yang terbunuh. [2]
    ICTY merupakan pengadilan tentang Hak Asasi Manusia berat di dalam kasus Yugoslavia. Pengadilan ini dibentuk untuk menuntaskan masalah pelanggaran HAM berat dan kejahatan Humaniter yang terjadi akibat konflik Bosnia dan Serbia. Di dalam kasus ini terdapat beberapa individu yang didakwa akibat perbuatan mereka yang dianggap sebagai sebuah pelanggaran HAM dan termasuk dalam kejahatan humaniter.
    Individu – individu yang dianggap melanggar HAM dalam kasus ini yaitu Zlatko Aleksovski (Komandan Penjara), Jenderal Tihomir Blaskic (Komandan Dewan Pertahanan Kroasia), Anto Furundzija (Komandan Lokal), Mario Cerkez (mantan komandan), Drago Josipovic (tentara HVO), Dario Kordic (pemimpin Regional) dan masih banyak pelanggar lain dalam kasus ini. Dalam kapasitasnya sebagai komandan angkatan Bosnia Kroasia, Balskic didakwa melakukan 6 jenis pelanggaran HAM seperti diatur dalam konvensi Jenewa 1949, pasal 2 statuta ICTY, 11 jenis pelanggaran atas kebiasaan perang. [3]
   
[1]  Pirhot Nababan,”Tinjauan Umum ICTR dan ICTY”, online,http://www.pirhot-nababan.blogspot.com , diakses pada  24 April 2012, pukul 20.00 WIB.
 [2]Nurkhoolis Ridho, ”Konflik Antara Bosnia dan Serbia pada Tahun 1991”,online,http://sejarah.kompasiana.com diakses pada 24 April 2012, pukul 20.30 WIB.
  [3]The Prosecutor of the Tribunal Against Tihomir Blaskic”, online, http://un.org/icty/indictment.com diakses pada tanggal 24 April 2012 pukul 20.40 WIB.

Review : International Criminal Tribunal for Rwanda

         Annisa Vanda Viyanti
11/312326/SP/24530

ICTR merupakan sebuah hasil resolusi dari salah satu tindakan kejahatan terhadap HAM yang terbesar sepanjang masa yaitu pembantaian suku Tutsi yang terjadi di Rwanda. ICTR dibentuk atas resolusi Dewan Kemanan nomor 955 pada 8 November 1994. Pengadilan ini dibuat untuk mengadili orang - orang yang dinyatakan bersalah dan terlibat dalam genosida yang berlangsung pada 1 Januari 1994 hingga 31 desember 1994 di Rwanda maupun di wilayah negara tetangga dengan kasus terkait. Atas resolusi nomor 977 tanggal 22 Februari 1995, ICTR berpusat di Arusha, Tanzania.[1]

Badan ini terdiri dari beberapa bagian yang saling melengkapi satu sama lain , seperti Mahkamamah Pengadilan dan banding, Jaksa,  bidang pengaduan atau registrasi, manajemen pengurus saksi dan korban, manajemen pengurus keamanan dan penahanan, serta seksi pembelian yang mengurus pembelian logistik dalam usaha untuk menyukseskan ICTR. Hakim dan Jaksa yang bertugas didatangkan dari berbagai negara seperti Itali, Tanzania, Denmark, Cina, Madagaskar, Pakistan, Rusia dan lain – lain. Dalam melancarkan usahanya, badan ini mengadakan berbagai perjanjian bilateral khusunya dalam hal opersional pendirian ICRT dan fasilitas – fasilitas yang diperlukan serta dalam prosedur penangkapan terdakwa yang berada diluar wilayah Rwanda.[2]

Tidak jauh dari markas ICTR di Arusha, didirikan UNDF atau United Nations Detention Facility tepatnya sejauh 10 km dari gedung markas pusat. Hingga tahun 2012 ICTR maih tetap beroperasi dan menyelesaikan kasus yang masih berjalan maupun yang sedang menunggu pengadilan. Badan ini juga masih bertanggung jawab atas pencatatan data – data para narapidana yang diadili dari transfer tahanan maupun kematian tahanan sebelum pengadilan.[3]

Adanya sebuah lembaga yang secara fokus mengurusi kejahatan taraf dunia yang melanggar HAM seperti ICTR ini merupakan sebuah pembendung dari berulangnya kejadian yang sama di bagian dunia yang lain. PBB khususnya Dewan Keamanan yang bertindak secara tegas atas kejahatan genosida dapat menjadi suatu usaha untuk menciptakan dunia yang terlepas dari kejahatan yang berasal dari sentimen suku, ras dan hal lainnya. Sayangnya kejahatan genosida di Rwanda ini tidak segera ditindak dan diintervensi karena adanya resesi dalam pemerintahan Rwanda akibat terbunuhnya presiden Juvenal Habyarimana sehingga tidak ada pemegang otoritas yang bertanggung jawab untuk menghentikan perang antara suku Hutu dan Tutsi sementara PBB dan pihak luar tidak dapat berbuat banyak pada saat itu. Padahal jika PBB dapat bertindak scara cepat dan tegas beserta bantuan dari negara lain khususnya Belgia yang merupakan bekas pemegang mandat atas Rwanda, kejahatan terhadap HAM ini tidak akan memakan terlalu banyak korban jiwa yang berasal dari orang – orang tidak bersalah.



[1] General Information, ICTR official website, diakses di http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx pada 26/04/2012
[2] Bilateral Agreements, ICTR officiak website, diakses di http://www.unictr.org/AboutICTR/BilateralAgreements/tabid/116/Default.aspx pada 26/04/2012
[3] Status of Cases, ICTR official website, diakses di http://www.unictr.org/Cases/StatusofCases/tabid/204/Default.aspx pada 26/04/2012

tugas SLSC bima ramadhan 11/317949/SP/24831


                                                                        Bima Ramadhan P.D
                                                                        11/317949/SP/24831
 Sierra Leone Special Courts
Pengadilan khusus mengenai HAM di Sierra Leone dibuat karena ada perang saudara yang dimulai sejak tanggal 23 Maret 1991. Perang saudara dilakukan oleh Revoluntary united Front atau Armed Forces Revoluntary Council (AFRC) dan Civilian Defense Forces (CDF).[1] Pengadilan ini berfungsi untuk menegakkan HAM dan menghukum siapa saja yang melanggar Hukum Internasional dan Humaniter yang berlaku di Sierra Leone. Penegakan hukum ini dimulai sejak tanggal 30 November 1996 yang disebut the Abidijan Peace Accord.[2] Lalu pada 7 Juli 1999 ada kesepakatan khusus yang memiliki keputusan memberikan sebuah Amnesti kepada tersangka kasus pelanggaran HAM dan hukum humaniter di Sierra Leone.[3] Hal ini tentu saja menjadi sangat kontroversial karena perwakilan sekjen PBB menganggap bahwa keputusan tadi tidak berlaku bagi pelaku kejahatan internasional genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan serius hukum humaniter lainnya.
Perang saudara di Siera Leone sangatlah melanggar HAM. Hal ini karena kasus yang banyak terjadi seperti amputasi, perkosaan secara sistematis, penculikan, dan yang paling parah adalah perekrutan anak-anak sebagai serdadu perang.[4] Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan adanya penegakan HAM di dunia internasional terlebih lagi perang saudara terjadi selama bertahun-tahun sehingga membutuhkan adanya penyelesaian secara tepat agar tidak terjadi kasus sepert ini lagi. Akibat dari perang ini adalah tewasnya sekitar 120 ribu orang dan hilangnya anggota tubuh bagi ribuan orang yang menjadi korban perang saudara di Siera Leone.
Charles Taylor, seorang mantan Presiden Liberia akhirnya diadili oleh pengadilan Mahkamah Internasional di Den Haag menyangkut kasus ini.[5] Ia dituduh telah menyulut konflik yang berlangsung dari tahun 1991 hingga 2002 dengan alasan untuk mengambil kepentingan dari negara penghasil permata tersebut dan mempersenjatai anggota RUF.[6] Tuduhan tersebut sangatlah beralasan karena kekerasan yang terjadi di Sierra Leone dapat dikatakan melewati batas kemanusiaan sehingga ia harus mendapatkan hukuman yang sebanding dengan apa yang diperbuat. Walaupun terjadi konflik pada awalnya antara pro-pemerintah dan anti-pemerintah, namun pada akhirnya Sierra Leone dapat menyelenggarakan pemilu yang terbuka pada bulan November tahun 2008.[7]



[1] A. Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran HAM Berat, Grasindo, Jakarta, 2005, hal.140.
[2] A. Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran HAM Berat, Grasindo, Jakarta, 2005, hal.140.
[3] A. Sudjatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran HAM Berat, Grasindo, Jakarta, 2005, hal.141.
[4] A. Cohn, “Berakhirnya Tribunal Sierra Leone”, rnw.nl(online), 23 Oktober 2009, http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/berakhirnya-tribunal-sierra-leone, diakses pada 26 April 2012
[5] “Charles Taylor Dinyatakan Bersalah dalam Kekerasan di Sierra Leone”, wartakota.co.id(online), 26 April 2012, http://www.wartakota.co.id/detil/berita/80894/Charles-Taylor-Dinyatakan-Bersalah-dalam-Kekerasan-di-Sierra-Leone, diakses pada 26 April 2012
[6] “Pengadilan Khusus Kejahatan di Sierra Leone”, xaverindo.org(online), http://www.xaverindo.org/web/news_detail.php?id=18, diakses pada 26 April 2012.
[7] “Kasus Charles Taylor dan Pemilu di Sierra Leone, kabarindonesia.com(online), 12 Agustus 2007, http://www.xaverindo.org/web/news_detail.php?id=18, diakses pada 26 April 2012.

Review ICTR


Nama : Anggita Mega Mentari
NIM : 11/314308/SP/24608




REVIEW ICTR
International Criminal Tribunal for Rwanda

Berdasarkan resolusi PBB nomor 955 tanggal 8 november tahun 1994 , mahkamah pidana internasional untuk Rwanda dibentuk dan ditempatkan di Arusha, Tanzania. ICTR yang merupakan singkatan dari International Criminal Tribunal for Rwanda merupakan pengadilan internasional yang didirikan khusus untuk menangani masalah-masalah di Rwanda. Pengadilan ini bertugas mengadili orang-orang yang bertanggung jawab untuk Rwanda (penduduk dan negara Rwanda) dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda. Tujuan dari langkah ini adalah untuk berkontribusi dalam proses rekonsiliasi nasional di Rwanda serta pemeliharaan perdamaian di wilayah tersebut. 
Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda didirikan sebagai bentuk penuntutan kepada orang-orang yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius lainnya terhadap hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda antara 1 Januari 1994 dan 31 Desember 1994. Hal ini juga dapat menangani penuntutan warga negara Rwanda yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran semacam hukum internasional lainnya yang dilakukan di wilayah Negara tetangga pada periode yang sama.[1]

Menurut salah satu berita VIVA News, Pengadilan Kriminal Internasional untuk Rwanda (ICTR), Kamis 18 Desember 2008, menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Kolonel (purnawirawan) Theoneste Bagosora, dan dua asistennya atas tuduhan pembunuhan ras, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang. Hukuman tersebut merupakan hal yang baru dan pertama bagi para pejabat teras seperti Bagosora, yang saat masih bertugas mendalangi pembantaian setidaknya 800 ribu orang di Rwanda pada 1994.  Bagosora saaat ini berusia 67 tahun dan dinyatakan bersalah bersama dua orang lainnya, Mayor Aloys Ntabakuze serta Letnan Kolonel Anatole Nsengiyumva. Mereka divonis penjara seumur hidup atas kejahatan yang mereka lakukan.  

Pengadilan mengatakan bahwa Bagosora merupakan tokoh kunci dalam rancangan rencana tindakan pembunuhan ras di Rwanda. Bagosora yang berasal dari suku Hutu telah memerintahkan milisi untuk membantai musuh mereka, suku Tutsi. Pembunuhan besar-besaran dimulai setelah kecelakaan pesawat 6 April 1994 yang menewaskan presiden Rwanda dan Burundi. Selain itu, Pengadilan menyatakan bahwa pesawat tersebut ditembak dengan peluru kendali dari bandara di Kigali, ibukota Rwanda. Personel militer Rwanda mengurung dan membunuh empat pemimpin penting kelompok oposisi, termasuk ketua Mahkamah Konstitusi dan beberapa menteri. Semetara itu, Bagosora juga memberi komando untuk membunuh sepuluh penjaga perdamaian Belgia yang mengunjungi kediaman perdana menteri. [2]
Keberadaan dari pengadilan internasional atas kasus Rwanda tersebut merupakan hal sangat penting dalam usaha penegakan keadilan hak asasi manusia di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali halangan yang melekat dalam proses implementasi peradilan kasus tersebut, namun secara pribadi saya berpendapat bahwa kinerja ICTR telah membawa manfaat besar dalam penuntutan pelaku tindak pidana kejahatan serius dan membawa keadaan menjadi lebih baik karena doktrinasi bahwa pelaku kejahatan tidak akan bebas tanpa hukuman akan semakin kuat tertanam dalam perspektif semua pihak. Kejahatan besar layaknya genosida merupakan kejahatan yang sangat merusak penegakan Hak Asasi Manusia dan melanggar nilai serta norma kemanusiaan yang ada. Namun, hal yang sangat disayangkan adalah banyaknya pelaku tidak kejahatan yang melarikan diri ke negara lain dimana tidak terdapat perjanjian ektradisi sehingga pelaku tersebut susah diidentifikasi dan ditangkap. Hal ini merupakan hal yang sudah seharusnya diperhatikan secara nyata , sehingga perluasan kerjasama dengan negara-negara di dunia dapat terlaksana demi penegakan hukum yang adil bagi semua pihak.





[1] Anonim, ‘International Criminal Tribunal for Rwanda: General Information’, http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx , diakses 23 April 2012 pukul 20.00 WIB
[2] Kawilarang. Renne dan Harriska Adiati, ‘Penjara Seumur Hidup bagi Tukang Jagal Rwanda: Theoneste Bagosora dan dua mantan asistennya bersalah membantai 800.000 orang pada tahun 1994’, http://dunia.vivanews.com/news/read/16713-penjara_seumur_hidup_bagi_tukang_jagal_rwanda, 19 Desember 2008, diakses 24 April 2012 pukul  19.00 WIB

INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR RWANDA - SRIWIYATA ISMAIL ZAINUDDIN


PENGANTAR STUDI HAK ASASI MANUSIA
ICTR
( INTERNATIONAL CRIMINAL TRIBUNAL FOR RWANDA)
SRIWIYATA ISMAIL ZAINUDDIN
11/312532/SP/24568
Dikumpulkan pada tanggal:
27 April 2012


International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) adalah sebuah pengadilan internasional yang dibentuk pada bulan November 1994 melalui Resolusi  955 Dewan Keamanan PBB. Pengadilan ini dibentuk untuk menindaklanjuti tindakan genosida pada April sampai dengan Juli 1994. Kasus pembantaian massal yang menewaskan kurang lebih 800.000 jiwa dengan kebanyakan dari korbannya adalah penduduk Rwanda dengan etnis Tutsi.[1] Korban dalam kasus ini tiga perempatnya adalah kaum Tutsi karena ekstrimis Hutu yang menyalahkan kaum Tutsi sepenuhnya dalam ketegangan sosial, politik dan ekonomi domestik.[2] Peristiwa ini bermula pada tanggal 6 April 1994 ketika Presiden Rwanda menjadi korban penembakan saat berada di dalam pesawat terbang. penembakan yang dilakukan kepada presiden Juvenal Habyarimana ini merupakan bentuk protws terhadap kebijakan Habyarimana yang ingin menyatukan etinis di Rwanda dan akan memberikan kekuasaan kepada etnis-etnis tersebut. Rwanda merupakan salah satu negara yang multikultur denga jumlah penduduk 7,4 uta yang terdiri dari etnis Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Gejolak ekstrimisi Hutu yang melenyapkan ratusan jiwa ini yang menjadi landasan utama terbentuknya International Tribunal Criminal for Rwanda (ICTR).


International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) ini diberikan kekuasaan untuk mengadili kasus genosida yang berupa : membunuh anggota kelompok, menyebabkan penderitaan fisik ataupun mental terhadap anggota kelompok, tindakan disengaja yang berdampak kerusakan fisik sepenuhnya maupun seluruhnya, memaksakan tindkan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok dan secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lainnya sesuai yang tercantum ayat 2 pasal 2, dan juga yang tercantum pada ayat 3 pasal 2 statute of the International Criminal Tribunal for Rwanda menyatakan bahwa ICTR juga memilii kekuasaan untuk mengadili para pelaku tindakan : genosida, persekongkolan untuk melakukan genosida, hasutan langsung dan umum untuk melakukan tindakan genosida, mencoba melakukan genosida dan keterlibatan dalam genosida. Pengadilan Internasional untuk Rwanda ini juga diberi kekuasaan untuk mengadili orang yang bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan sebagai suatu serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil pada di nasional, politik, etnis, rasa tau agama.[3]

Struktur ICTR terdiri dari 16 hakim permanen, tidak ada dua di antara mereka yang memiliki kewarganegaraan dan berasal dari negara yang sama. International Criminal Tribunal for Rwanda bersifat sementara atau ad hoc, yang akan ditutup ketika semua tugasnya telah selesai. Target penyelidikan ICTR adalah sejumlah pejabat politik, militer dan masyarakat sipil yang terlibat dalam kasus genosida di Rwanda. ICTR diberikan kewenangan untuk membebani hukuman seumur hidup dan hukuman penjara sekitar 10-30 tahun, ICTR menegaskan bahwa hukuman terhadap pelaku genosida diberatkan dibanding tindakan kejahatan manusia. Terdakwa yang dihukum dapat menjalani masa hukumannya baik di Rwanda atau di negara yang membuat perjanjian dengan ICTR, seperti negara Mali, Benin dan Swaziland yang telah menandatangani perjanjian tersebut.

Dalam kasus ini ICTR telah menjalankan perannya cukup baik dalam menindaklanjuti kasus genosida di Rwanda. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya mantan menteri wanita Rwanda,  Pauline Nyiramasuhuko, 65 tahun, merupakan perempuan pertama yang diadili ICTR, Jaksa Mahkamah Kejahatan Internasional Rwanda (ICTR) menuduhnya terlibat dalam keputusan pemerintah menciptakan milisi di seluruh negeri dengan tujuan menghabiskan penduduk Tutsi secepat mungkin, dia terbukti melakukan kejahatan tersebut bersama anak laki-laki dan empat mantan pejabat dalam pengadilan yang sudah berlangsung selama 10 tahun.[4] Selain itu panglima militer Rwanda Augustin Bizimungu divonis bersalah dan dijatuhkan hukuman 30 tahun oleh ICTR, mahkamah memutuskan Augustin ditahan di Angola tahun 2002, karena memiiki kekuasaan penuh atas orang-orang yang dikomandoinya pada tahun 1994.[5]


[1] E Notes, Intenational Criminal Tribunal for Rwanda, http://www.enotes.com/international-criminal-tribunal-rwanda-reference/international-criminal-tribunal-rwanda, diakses pada tanggal 25 April 2012.
[2] United Human Rights Council, Genocide in Rwanda, http://www.unitedhumanrights.org/genocide/genocide_in_rwanda.htm, diakses pada tanggal 26 April 2012.
[3] Office of the United Nations High Comissioner for Human Rights, http://www2.ohchr.org/english/law/itr.htm, diakses pada 25 April 2012.
[4] BBC (24 Juni 2011), Mantan Menteri Rwanda Bersalah Terkait Genosida, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/06/110624_rwandarape.shtml
[5] BBC (17 Mei 2011), Mantan Panglima Militer Rwanda dihukum 30 Tahun Penjara, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/05/110517_rwanda_jenderal.shtml, diakses pada tanggal 26 April 2012.



Tugas Pengantar Studi HAM B

International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia

Nama : Mega Ayu Putri G.

NIM : 11/311494/SP/24394

Pengadilan Internasional yang dibentuk untuk menanggulang, menghukum dan mengatasi pelanggaran HAM yang terjadi di Yugoslavia ini  dibentuk pada tahun 1993 atas resolusi dari Dewan Keamanan PBB. Pengadilan ini debentuk karena adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Yugoslavia. Dari tahun 1991, konflik bersenjata yang retak Republik Federal Yugoslavia menyebabkan berbagai konflik kemanusaan yang mengekor. Tidak hanya pembunuhan, penahanan, penculikan, penyiksaan hingga pemerkosaan perempuan, dengan alasan pembersihan etnis terjadi di negara ini[1].
 Mengetahui adanya konflin ini,, Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Ahli pada Oktober 1992 untuk menyelidiki laporan kejahatan di Yugoslavia dengan tujuan meredakan konflik dan mengadili orang orang yang terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini. dengan proses penyelidikan yang cukup panjang, dengan berdasar kepada cakupan pelanggaran berat Konvensi Jenewa dan hukum lainnya mengenai kebiasaan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan, maka Pada Mei 1993, Dewan Keamanan mengadopsi SCRes 827 sebagai dasar pelegalan dalam pembentukan pengadilan internasional untuk menuntut pelaku pelanggar hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di Yugoslavia[2].
Pembentukan pengadilan Internasional ini tidak hanya program semata, pengadilan ini mampu menangkap dan mengadili beberapa tokoh yang berperan dalam kejahatan kemanusiaan di Yugoslavia ini. Di antaranya adalah penangkapan Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic, yang meninggal di tengah proses peradilannya pada Maret 2006, Radovan Karadzic, Duško Tadic pada tahun 2000, Radislav Krstic pada tahun 2004, dan terakhir Milan dan Sredoje Lukic pada Juli 2009[3]. Dalam laporan terbaru, tanggal 31 Juli 2009, ICTY menjelaskan bahwa telah memproses 120 terdakwa dari 161 terdakwa. Namun pengadilan mencatat bahwa masih ada dua profil tinggi tersangka masih buron yaitu Ratko Mladic dan Goran Hadzic, yang keduanya diduga bersembunyi di Serbia[4].
Pembentukan ICTY merupakan salah satu sejarah bagi keadilan internasional. Belum pernah PBB bergerak dengan otoritas utuh untuk memperkenalkan proses pidana demi mengembalikan perdamaian dan keamanan setelah berakhirnya konflik. Statuta ICTY menjelaskan yurisdiksi Pengadilan, yang terbatas pada pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional. Hal ini membuktikan bahwa, manusia memiliki hak-hak yang harus dihormati, dihargai, dan dijunjungtinggi oleh siapapun tidak terkecuali aparat negara dan pemerintahan.

 



[1] International Bar Association , ‘International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia’ Diakses darihttp://www.ibanet.org/Committees/WWC_ICTY.aspx pada tanggal 8 April 2012

[2] Institute of War and Peace Reporting, ‘War Crimes Tribunal Regional Reporting Project’. Diakses dari http://iwpr.net/programme/war-crimes-tribunal-regional-reporting-project pada tanggal 9 April 2012

[3] Charlotte Bretherton & John Vogler, ‘The European Union as a Global Actor’(2006). British Library Routledge : Inggris. Hal 187
[4] The Telegraph,  ‘The Last Remaining Major Figure At Large’. Diakses dari http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/serbia/8538468/Ratko-Mladic-arrested-Goran-Hadzic-last-remaining-major-figure-at-large.html pada tanggal 22 April 2012