AMRI AZIS ARDHELAS (11/314628/SP/24612)
ICESCR dan Implementasinya di Indonesia
International Covenant Economic, Sosial, and Cultural Right (ICESCR) merupakan
salah satu resolusi yang dikeluarkan PBB dalam rangka penegakkan hak asasi
manusia terutama dalam hal kegiatan politik, ekonomi, dan sosial masyarakat di
dunia. Resolusi ini dikeluarkan pada 16 Desember 1966, namun Indonesia sendiri
baru meratifikasi baru meratifikasinya pada tahun 2005 dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005.[1]
Secara umum kovenan ini berisi konsep-konsep dan usaha pencapaian penegakan HAM
politik, ekonomi, sosial, budaya bagi negara yang telah terlibat langsung dalam
peratifikasiannya.
Namun dalam
implementasi hukum ini di Indonesia
sepertinya masih memerluykan pengawasan yang cukup besar dari pemerintah
sendiri. Mengingat masih banyaknya deret tindakan yang belum menunjukkan
berdiri tegaknya konvenan ini dalam diri Indonesia, misalnya pasal 3 yang
berbunyi “The
States Parties to the present Covenant recognize the right to work, which
includes the right of everyone to the opportunity to gain his living by work
which he freely chooses or accepts, and will take appropriate steps to
safeguard this right”.[2] Identitas negara yang late comer menunjukkan belum tercapainya tujuan konvenan ini.
Gambaran Indonesia seperti
banyaknya pengangguran terutama di sudut-sudut kota membuktikannya. Ditambah arus
globalisasi kini yang menuntut sistem ekonomi liberal amatlah rawan akan segala
tindakan pelanggaran HAM. Menilik dari bebasnya pasar barang dan jasa tingkat
ASEAN dimana Indonesia selaku pemimpin ASEAN sekarang menggemborkan program
Asean Economic Community 2015, mendorong berbagai negara ASEAN maupun dunia
untuk menjalin hubungan internasional dalam bentuk investasi asing yang
nantinya diharapkan dapat meningkatkan perekonomian. Namun nasib para pekerjadi
perusahaan asing di Indonesia
seolah-olah tak mendapat makna peningkatan ekonomi yang sesungguhnya. Tindakan penglelola
perusahaan yang semena-mena dan cenderung melakukan eksploitasi tenaga kerja
menjadi suatu pertanda rendahnya pengawasan dari pemerintah. Ditambah lagi
dengan masih banyaknya pengaduan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri seperti
penyiksaan, gaji tak dibayarkan, dipaksa bekerja tanpa istirahat, dan
lain-lain. Hal ini amatlah tidak sesuai dengan prinsip aturan yang telah dibuat
pada pasal 7 dimana setiap orang berhak menikmati kondisi kerja yang
menguntungkan seperti mendapatkan upah yang seadilnya, jaminan keamanan dan
kesehatan kerja, kesempatan untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi,
dan memperoleh istirahat yang cukup.[3]
Gambaran
yang buruk ini bukan berarti bahwa Indonesia telah mengabaikan prinsip
yang telah diratifikasi sebelumnya. Pemerintah Indonesia telah mengusahakan
kehidupan yang bagi masyarakatnya. Prinsip ini juga tertuang dalam UUD 1945
tentang Hak Ekonomi, Politik, Sosial, dan Budaya yang menjadi pedoman negara
untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah ratis 9 tahun, bantuan dana
BOS, dan subsidi BBM yang menunjukkan kesadaran pemerintah untuk memberikan akses
bebas warganya untuk memperoleh pendidikan dan pengetahuan tanpa adanya
diskriminasi dalam bentuk apapun. Dalam salah satu media masa disebutkan bahwa kasus
yang menimpa TKI pada 2011, menurun dari 60.399 kasus pada 2010 lalu menjadi
44.573 kasus pada tahun 2011.[4]
Saran bagi pemerintah adalah perlunya maksimalisasi pengawasan kebijakan
terhadap oknum tak bertanggung jawab yang mencari keuntuingan.
Mengimplementasikan Kovenan Internasional
Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya’, http://staff.undip.ac.id/fh/rahayu/files/2010/07/kewajiban-negara-dalam-ham-ekosob.pdf
diakses pada 7 April 2012 pukul 00.44.
[2] Office Of United Nations
for Commissioner of Human Right, ‘International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights’, http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm,
diakses pada 7 April 2012 pukul 01.02.
[3] Ibid,
diakses 7 April 2012 pukul 01.33.
[4] Zubaedah. Neneng, ‘Kasus
Kekerasan terhadap TKI Menurun’, http://news.okezone.com/read/2012/01/09/337/554268/kasus-kekerasan-terhadap-tki-menurun,
2012, diakses 7 April 2012 pukul 02.04.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar