Rifa
Fatharani
(11/312135/SP/24496)
PSHAM
B
Critical
Review :
International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
Peraturan mengenai hak – hak ekonomi, sosial dan budaya
tertulis dalam International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights atau dikenal dengan Kovenan Internasional tentang hak –
hak ekonomi, sosial dan budaya. Kovenan tersebut adalah suatu
instrumen hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan dan
penegakkan hak asasi manusia yang merangkup berbagai bidang,
diantaranya adalah ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah Indonesia
sendiri telah meratifikasi instrumen hukum HAM tersebut pada bulan
Mei 2006 bersama dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (ICCPR).1
Dirancangnya kedua Kovenan mengenai HAM diatas tidak terlepas dari
implementasi DUHAM, terbentuk dari Majelis Umum PBB yang mengangkat
tentang kebebasan, perlindungan atau secara garis besarnya tentang
peraturan hak manusia dalam rangka menciptakan kesejahteraan
masyarakat dunia. Perlu dijelaskan bahwa hak asasi manusia sifatnya
saling berkaitan antar sesama dalam bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya.
Indonesia sempat
mengalami pelanggaran HAM besar dalam kasus pemerintah korupsi pada
rezim Soeharto. Akibatnya telah menyebabkan krisis dalam negeri
dimana masyarakat Indonesia mengalami kesusahan dan penderitaan.
Pemerintah Indonesia sebagai fasilitator diharapkan menjunjung tinggi
persamaan HAM baik dalam ruang lingkup domestik maupun internasional.
Salah satu tujuan meratifikasikan kovenan tersebut agar dapat
memperbaiki sejarah buruk pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Kovenan Internasional tentang hak – hak ekonomi, sosial dan budaya
ini ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXII) pada tanggal
16 Desember 1966 dan terdiri dari pembukaan dan 31 pasal dalam lima
bagian.2
Namun, dalam mengimplementasikan penegakkan hukum HAM membutuhkan
waktu yang cukup lama karena proses penerapannya tidak mudah.
Dalam
isi kovenan internasional tentang hak – hak ekonomi, sosial dan
budaya terdapat beberapa hal seperti hak atas pekerjaan dan buruh,
hak atas mendapatkan standard kehidupan sosial, hak atas kesehatan
dan pendidikan, hak atas ibu serta anak, dan banyak hal lainnya.
Diantara isi kovenan tersebut terdapat beberapa hal menarik untuk
dibahas adalah pasal 6 yang berbunyi 'Negara
Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak
semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan
yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil
langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini'.3
Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kebebasan
dalam mencari kesempatan untuk bekerja sesuai dengan keinginan dan
kemampuan pribadi. Secara realita, Indonesia sudah cukup efektif
dalam menegakkan peraturan tersebut dan proses ini sangat bergantung
pada keadaan negara sendiri. Namun, pemasalahannya adalah Indonesia
memiliki jumlah penduduk tinggi sehingga ketersediaan lapangan kerja
terbatas, tidak setara dengan jumlah masyarakatnya. Hal ini akan
mempersulit kondisi ekonomi negara, dimana tingkat kemiskinan
Indonesia masih relatif tinggi. Peluang pekerjaan yang layak
disesuaikan dengan kemampuan sesorang dalam pendidikan maupun
keterampilan. Di negara berkembang seperti Indonesia terdapat
kesenjangan ekonomi, maksudnya adalah bagi masyarakat yang
berpendidikan akan mendapatkan pekerjaan layak seperti di
pemerintahan, perusahaan besar sedangkan mereka yang kurang
berpendidikan pada umumnya bekerja di kalangan 'bawah' seperti buruh,
petani dan lainnya. Pola bekerja di Indonesia dikatakan konstan dalam
arti tidak banyak masyarakat yang mengalami peningkatan parameter
pekerjaan.
Di
samping itu, Indonesia masih mengalami pelanggaran
hak asasi manusia seperti kekerasan mengatasnamakan agama yang
dialami oleh jemaat Ahmadiyah di Cikeusik pada tanggal 6 Februari
2011 dan peristiwa pembakaran gereja di Temanggung pada tanggal 8
Februari 2011.4
Berdasarkan ICESCR, peristiwa diatas telah melanggar pasal 2 ayat 2
mengenai diskriminasi agama dan pasal – pasal terkait lainnya.
Dalam kasus ini aparat keamanan juga belum dapat menangani fenomena
tersebut dengan semestinya yang hanya mengamankan gedung pemerintahan
bukan mengamankan situasi konflik sosial. Ditambah lagi, pihak
berwenang tidak menindaklanjuti atau berkomunikasi dengan pihak PBB
mengenai pelanggaran HAM berbasis keagamaan.
Berdasarkan
pemaparan diatas, Indonesia masih memiliki kesempatan dalam
memperbaiki dan mewujudkan HAM jika terdapat kontribusi dari
masyarakat sipil serta pemerintahan yang bijaksana. Pemerintah harus
bersikap tegas dalam menghadapi kasus pelanggaran HAM sesuai dengan
hukum yang berlaku.
1Asian
Human Right Commission,'Indonesia :
Ratification of key human rights instruments must be followed by
legal reform’ (online),
22
Maret 2006
<http://www.humanrights.asia/news/ahrc-news/AS-044-2006>
diakses pada 06 April 2012.
2KOVENAN
INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA, diunduh dari
<http://www.kontras.org/baru/Kovenan%20Ekosob.pdf> pada 08
April 2012.
3Ibid,.
4KAPAL
Perempuan, Hentikan Kekerasan Mengatasnamakan Agama Saat Ini
Juga!(Online) <http://www.kapalperempuan.org/?q=node/61>
diakses pada 08 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar