Heru
Setyana 11/317849/SP/24736
Critical Review
International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)
ICESCR
telah diratifikasi di Indonesia dengan UU no 11 Tahun 2005, langkah
meratifikasi kovenan
diatas yang merupakan induk dari pernyataan internasional
tentang hak asasi manusia, merupakan
kesempatan yang baik bagi Indonesia untuk memperbaiki catatan hak asasi manusia yang mempunyai track record yang tidak terlalu baik[1] walaupun dalam
hal ini Indonesia tertiggal 39 tahun dari ICESCR yang telah di sahkan di PBB
tahun 1966. Bukan tanpa alasan tentunya kita
baru meratifikasi tahun 2005, namun upaya meratifikasi ICESCR merupakan langkah
pembuka dalam penegakkan HAM itu sendiri.
Salah
satu poin yang menarik bagi penulis yaitu ICESCR berisi mengenai dasar –
dasar mengenai hak – hak ekosob yaitu Negara yang harus memfasilitasi dengan melakukan
semua langkah yang diperlukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada untuk
mengimplementasikan Kovenan dengan cara-cara yang efektif, termasuk mengadopsi kebijakan
yang diperlukan.[2]
Dalam hal ini penulis beranggapan bahwa Negara dalam hal ini tidak dipaksa
menerapkan standar yang khusus sehingga ada kerugian maupun keuntungan dalam
pelaksanaannya. Disini yang menarik
bukan hanya Indonesia yang dapat terjadi pelanggaran, namun Negara sebesar
Prancis bahkan melakukan pelanggaran berupa pelarangan Cadar disana dengan
beralasan warga prancis tak suka melihat wanita menggunakan cadar, yang
ditanggapi beragam.
Keuntungannya
Negara tidak dibebani dengan standar penegakan yang dianggap terlalu tinggi
sehingga tidak mungkin untuk dilakukan, dan kekurangannya yaitu ketika sumber
daya tidak ada yang dapat digunakan untuk melaksanakannya maka ada pihak – pihak yang akan melakukan pelanggaran
HAM dengan memanfaatkan celah tersebut.
Pada akhirnya, UUD 1945 Indonesia
sebenarnya telah berisi tentang beberapa hak – hak dan kewajiban warga Negara, seperti
hak untuk mendapat pekerjaan yang layak (pasal 27 ayat 2) yang isinya hampir sama
dengan bagian pertama dari ICESCR yaitu memuat hak
setiap penduduk untuk menentukan nasib sendiri dalam hal status politik yang
bebas serta pembangunan ekosob, hak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan (pasal 28), dan lain sebagainya.
Namun dengan
meratifikasi ICESCR itu sendiri, pihak – pihak yang akan menjadi sasaran
pelanggaran HAM dalam ini bidang Ekosob (seperti buruh yang dieksploitasi berlebihan)
dapat melaporkan kepada pihak – pihak yang berwenang sesuai dengan UU yang
berlaku, yang dapat diteruskan ke dunia Internasional oleh bada yang berwenang, yang dikhawatirkan disini justru upaya dari pihak – pihak tertentu
yang enggan mengedukasi orang – orang tersebut atau upaya untuk mengancam
mereka, sehingga ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia sia – sia saja dan
penegakan HAM di Indonesia jutru akan terlihat buruk di mata internasional.
INDONESIA: Ratification of
key human rights instruments must be followed by legal reform, dikutip dari http://www.humanrights.asia/acl_users/credentials_cookie_auth/require_login?came_from=http%3A//www.humanrights.asia/news/ahrc-news/AS-044-2006/download_as_pdf%3Fpage_url%3Dhttp%3A//www.humanrights.asia/news/ahrc-news/AS-044-2006,
diakses pada 7 April 2012 pukul 11.25,
[2]M. Dian Nafi’, Pengantar Memahami Hak Ekosob
dari http://soloraya.net/wp-content/uploads/2009/08/Pengantar-Memahami-Hak-Ekosob-M.-Dian-Nafi.pdf
diakses 7 April 2012 pukul 12.10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar