Mulida Mutiara N.A (11/317753/SP/24646)
REVIEW
ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights)
Resolusi
Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) menjadi jembatan ditetapkannya International Covenant
on Economic, Social, and Cultural Rights atau ICESCR pada 16 Desember 1966. Konvensi
ini bersama dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik saling melengkapi sebagai
salah satu dokumen HAM universal yang pertama kali ditetapkan oleh PBB.
Konvensi ini memiliki lima bagian dengan
Bagian Tiga sebagai isi pokok kovenan. Bagian Tiga memuat beberapa pasal
mengenai hak pekerja, hak jaminan sosial, hak pendidikan, hak katas kesehatan
yang layak, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya.
Dari
beberapa pokok hal dalam Bagian Tiga di konvensi ini, saya ingin meyampaikan
pendapat saya dalam Pasal 6-Pasal 8 yang mencantumkan hak atas pekerjaan atau
kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya
secara bebas. Hak-hak tersebut diantaranya seperti upah yang adil untuk pekerja
yang dijamin dalam Pasal 7 ayat 1. Hak pekerja juga mencakup kehidupan yang
layak bagi keluarga mereka dan adanya istirahat serta jam kerja yang wajar. Pekerja
berhak membentuk serikat pekerja sebagai penampung aspirasi mereka. Negara pihak
dalam kovenan ini wajib menjamin terpenuhinya pasal-pasal tersebut. Dalam interpretasi
saya, hak perkerja ini membuka kesempatan pekerja di berbagai belahan dunia
untuk mendapatkan hak-hak mereka secara lebih utuh. Seperti yang kita tahu,
maraknya isu perbudakan dan buruh kasar hingga akhir Perang Dunia II dan budak
di Afrika sangat santer terdengar. Munculnya budak negro yang diperlakukan
secara tidak manusiawi dan tidak mendapatkan hak-hak mereka secara layak
sepatutnya hilang dengan adanya konvensi ini. Selain itu, di Indonesia sendiri,
konvensi ini secara langsung dijadikan sebagai salah satu rujukan pemenuhan hak
pekerja seperti dalam penetapan upah minimum regional. Ratifikasi konvensi ini
tertuang dalam UU nomor 11 Tahun 2005. Namun, menurut pendapat saya kondisi
kesejahteraan keluarga pekerja di Indonesia masih jauh dari standar kelayakan. Hal
ini ditunjukkan dengan demo serikat pekerja beberapa waktu di beberapa daerah
di Indonesia yaitu Kulonprogo, Yogyakarta dan Cirebon. Mereka menuntut
dipenuhinya hak pekerja yaitu kenaikan upah minimum regional yang menurut
mereka belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Hal ini diakibatkan pula kelayakan
upah pekerja masih jauh dari standar hidup di Indonesia.
Resolusi
ECOSOC membentuk sebuah badan komite dalam mengawal implementasi kovenan ini negara-negara
yang meratifikasi konvensi ini. Komite ini bertugas menerima laporan berkala
dari semua negara pihak. Implementasi dari konvensi ini sendiri di Indonesia
masih perlu perbaikan yang cukup banyak hingga dapat terpenuhinya berbagai hak manusia
yang tertuang Konvensi ini. Namun, Konvensi ini membuktikan bahwa secara
universal, pengusahaan pemenuhan hak setiap individu dalam konteks hak ekonomi,
sosial, dan budayanya sudah berjalan satu langkah ke depan dengan dibuatnya Konvensi
ini sendiri dan banyaknya negara yang telah meratifikasi Konvensi ini
menunjukkan bahwa mereka melakukan upaya untuk perbaikan kesejahteraan rakyatnya.
Beriringan dengan adanya Komite ECOSOC, pemenuhan kewajiban negara pihak dalam
ratifikasi International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights diharapkan
dapat dilakukan semaksimal mungkin hingga akhirnya semua hak asasi manusia yang
tertuang dalam Konvensi ini dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar