Annisa Vanda Viyanti
11/312326/SP/24530
ICTR merupakan sebuah hasil resolusi dari salah
satu tindakan kejahatan terhadap HAM yang terbesar sepanjang masa yaitu
pembantaian suku Tutsi yang terjadi di Rwanda. ICTR dibentuk atas resolusi
Dewan Kemanan nomor 955 pada 8 November 1994. Pengadilan ini dibuat untuk
mengadili orang - orang yang dinyatakan bersalah dan terlibat dalam genosida
yang berlangsung pada 1 Januari 1994 hingga 31 desember 1994 di Rwanda maupun
di wilayah negara tetangga dengan kasus terkait. Atas resolusi
nomor 977 tanggal 22 Februari 1995, ICTR berpusat di Arusha, Tanzania.[1]
Badan ini terdiri dari beberapa bagian yang
saling melengkapi satu sama lain , seperti Mahkamamah Pengadilan dan banding,
Jaksa, bidang pengaduan atau registrasi,
manajemen pengurus saksi dan korban, manajemen pengurus keamanan dan penahanan,
serta seksi pembelian yang mengurus pembelian logistik dalam usaha untuk
menyukseskan ICTR. Hakim dan Jaksa yang bertugas didatangkan dari berbagai negara
seperti Itali, Tanzania, Denmark, Cina, Madagaskar, Pakistan, Rusia dan lain –
lain. Dalam melancarkan usahanya, badan ini mengadakan berbagai perjanjian
bilateral khusunya dalam hal opersional pendirian ICRT dan fasilitas –
fasilitas yang diperlukan serta dalam prosedur penangkapan terdakwa yang berada
diluar wilayah Rwanda.[2]
Tidak jauh dari markas ICTR di Arusha, didirikan
UNDF atau United Nations Detention
Facility tepatnya sejauh 10 km dari gedung markas pusat. Hingga tahun 2012
ICTR maih tetap beroperasi dan menyelesaikan kasus yang masih berjalan maupun
yang sedang menunggu pengadilan. Badan ini juga masih
bertanggung jawab atas pencatatan data – data para narapidana yang diadili dari
transfer tahanan maupun kematian tahanan sebelum pengadilan. [3]
Adanya sebuah lembaga yang secara fokus mengurusi
kejahatan taraf dunia yang melanggar HAM seperti ICTR ini merupakan sebuah pembendung dari
berulangnya kejadian yang sama di bagian dunia yang lain. PBB khususnya Dewan
Keamanan yang bertindak secara tegas atas kejahatan genosida dapat menjadi suatu
usaha untuk menciptakan dunia yang terlepas dari kejahatan yang berasal dari
sentimen suku, ras dan hal lainnya. Sayangnya kejahatan genosida di Rwanda ini
tidak segera ditindak dan diintervensi karena adanya resesi dalam
pemerintahan Rwanda akibat terbunuhnya presiden Juvenal Habyarimana sehingga
tidak ada pemegang otoritas yang bertanggung jawab untuk menghentikan perang
antara suku Hutu dan Tutsi sementara PBB dan pihak luar tidak dapat berbuat
banyak pada saat itu. Padahal jika PBB dapat bertindak scara cepat dan tegas
beserta bantuan dari negara lain khususnya Belgia yang merupakan bekas pemegang
mandat atas Rwanda, kejahatan terhadap HAM ini tidak akan memakan terlalu banyak
korban jiwa yang berasal dari orang – orang tidak bersalah.
[1]
General Information, ICTR official website, diakses di http://www.unictr.org/AboutICTR/GeneralInformation/tabid/101/Default.aspx
pada 26/04/2012
[2]
Bilateral Agreements, ICTR officiak website, diakses di http://www.unictr.org/AboutICTR/BilateralAgreements/tabid/116/Default.aspx
pada 26/04/2012
[3]
Status of Cases, ICTR official website, diakses di http://www.unictr.org/Cases/StatusofCases/tabid/204/Default.aspx
pada 26/04/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar