CRITICAL REVIEW
INTERNATIONAL CONVENANT ON ECONOMICS, SOCIAL, AND CULTURAL RIGHTS
SRIWIYATA ISMAIL ZAINUDDIN
11/312532/SP/24568
|
Dikumpulkan
pada tanggal :
09
April 2012
|
Kepedulian masyarakat internasional
terhadap hak-hak kodrati mulai terlihat dengan terciptanya Universal
Declaration of Human Rights (UDHR), International Convenant on Economics,
Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Convenant on Civil and
Political Rights (ICCPR). Tiga peraturan tersebut menjadi instrument HAM di
dunia internasional. International Convenant on Economics, Social and Cultural
Rights (ICESCR) atau kovenan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ditetapkan
oleh PBB melalui Resolusi
Majelis Umum 2200 A (XXI) pada tanggal 16 September 1966 dan terdiri
dari pembukaan dan 31 pasal dalam lima bagian.[1] Terdapat kategori-kategori
hak didalam hak ekonomi sosial dan budaya antara lain ; (1) hak atas pekerjaan, (2) hak mendapatkan
program pelatihan, (3) hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik,
(4) hak membentuk serikat buruh, (5) hak menikmati jaminan sosial termasuk
asuransi sosial, (6) hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah
melahirkan, (7) hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang dan
perumahan, (8) hak terbebas dari kelaparan, (9) hak menikmati kesehatan fisik
dan mental yang tinggi (10) hak atas pendidikan, termasuk pendidikan yang
secara cuma-cuma, (11) hak untuk
berperan serta dalama kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan aplikasinya.[2]
Pada bulan Mei 2006 Indonesia juga ikut
menandatangani konvensi internasional hak ekonomi, sosial dan budaya, itu
berarti Indonesia bersiap untuk terikat dengan konvensi ini. Pasal 2 ayat 1
konvensi ekosob ini menyatakan “Setiap
Negara Pihak pada Kovenan ini, berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik secara individual maupun melalui bantuan dan
kerjasama internasional, khususnya dibidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber
dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang
diakui oleh Kovenan ini dengan cara-cara yang sesuai, termasuk denagn
pengambilan langkah-langkah legislatif.”[3]
Pasal ini menjelaskan bahwa negara adalah aktor utama dalam penjaminan hak
ekosob masyarakat negaranya, begitupun Indonesia. Di dalam konvensi ekosob
pasal 3 juga menyatakan “Negara Pihak
pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama antara laki-laki dan perempuan
untuk menikmati semua hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam
Kovenan ini.” Pasal ini juga menekankan bahwa dalam pemenuhan hak ekonomi,
sosial dan budaya perlunya persamaan gender
Sejenak beralih ke Indonesia dalam
masalah Hak ekonomi, sosial dan budaya yang masih belum dirasakan secara merata
oleh mayarakat Indonesia. Dalam realitanya pemenuhan hak ekosob masih membedakan
gender, seperti yang dialami para buruh perusahaan Indonesia yang merasa tidak
diberlakukan secara adil. Mulai dari standar upah yang lebih rendah dari upah buruh
laki-laki, tiadanya tunjangan pasangon, seperti yang diterima buruh laki-laki,
hingga skors dalam bentuk kerja lembur tanpa dibayar bila tak memenuhi target
kerja, yang ditetapkan secara sewenang-wenang oleh perusahaan.[4] Adanya pembedaan gender
ini mengakibatk banyaknya buruh wanita yang mengalami keguguran gara-gara tidak
diperbolehkan mengambil cuti hamil yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.
Perusahaan itu juga tak memberi uang pengganti bagi cuti tersebut.
[1]
Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, http://www.kontras.org/baru/Kovenan%20Ekosob.pdf
, diakses pada tanggal 08 April 2012
[2]
Sasmini (Staff Hukum UNS) , Tanggungjawab
Negara dalam Pemenuhan Hak EKOSOB, http://sasmini.staff.hukum.uns.ac.id/2011/03/02/tanggungjawab-negara-dalam-pemenuhan-hak-ekosob/
[3] Konvensi
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, http://www.kontras.org/baru/Kovenan%20Ekosob.pdf
, diakses pada tanggal 08 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar