Dimas Valdy Heryana Putra
(11/320211/SP/24950)
Critical Review on ICESCR
ICESCR (International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights) bersama
dengan Universal Declaration of Human
Rights dan ICCPR (International
Convenant on Civil and Political Rights) melebur dalam satu jiwa dan
membentuk badan integral yang baru dan akhirnya dikenal sebagai International Bill of Human Rights. Dalam takarannya,
ICESCR, sesuai dengan namanya, memfokuskan pada penyamaan hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya bagi masyarakat dunia. Dari konvenan ini, dikenal lima
bagian dan bagian ketiga yang menjadikan isi pokok dari konvenan ini. Bagian
tersebut mengakomodasi hak pendidikan, hak jaminan
sosial, hak pekerja, hak katas kesehatan yang layak, dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya. Walaupun konvenan ini berdiri
dengan asas dan tujuan yang baik bagi masyarakat umum, konvenan ini tidak terhindar
dari adanya kritik dan ambiguitas.
Hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya termasuk kedalam hak asasi universal manusia yang
harus dijaga dan dilindungi. Dalam hal ini, Universal Declaration
of Human
Rights (UDHR) tidak membeda-bedakan antara hak-hak ekosob dengan hak-hak
sipil dan politik[1].
Namun demikian, hak-hak sipil dan politik jauh lebih mengemuka ketimbang
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga ada kecenderungan bahwa hak asasi
manusia itu identik dengan hak-hak sipil dan politik saja. Ini merupakan
pengaruh paham liberal yang sangat dominan dalam konsep HAM. Pemahaman
liberalisme yang menjunjung tinggi kebebasan individual memang sangat
mengagungkan kebebasan sipil dan politis.
Namun
perlu untuk diingat
bahwa hak asasi manusia bersifat interdependen (antara satu dengan yang lain
saling tergantung). Hak-hak sipil dan politik harus disokong oleh hak-hak
dibidang ekosob, begitu juga sebaliknya.[2] Sebagai contoh, ketika kita menuntut
kebebasan berbicara, berkeyakinan, atau berserikat dan berkumpul, tentunya hal
itu juga harus ditopang oleh kesejahteraan: memiliki pekerjaan yang layak,
pendidikan yang baik atau lingkungan yang sehat. Apa gunanya memiliki kebebasan
politis jika masih harus berjuang untuk tidak kelaparan? Apa gunanya menuntut
kebebasan berbicara tapi akses pada pendidikan yang baik, yang dapat
mencerdaskan masih sulit untuk didapat. Begitupun sebaliknya, ketika kita
menghendaki kondisi kerja yang adil dan aman bagi pekerja, atau standar
kehidupan yang memadai pada masyarakat, maka aspirasi demikian hanya bisa
disampaikan jika ada kebebasan sipil berupa kebebasan untuk berpendapat.
Pendeknya hak-hak ekonomi, sosial dan politik tidak bisa dipisah-pisahkan satu
sama lain.
Dalam
praktiknya, pemberlakuan hak ekosob ini sangat rentan dalam kritik karena
konsepnya yang dirasa kurang tepat sasaran dan masih samar. Diyakini bahwa secara
kodrati, hak sesungguhnya tidak memiliki kejelasan –tidak seperti hukum. Dan karena
kurangnya kejelasan konseptual inilah yang kurang mendukung untuk
pelaksanaannya.[3] Secara mendasar, ketidakefektifan
penggunaan ‘hak-hak’ ini dikarenakan oleh gagalnya hal tersebut dalam menguraikan
batas dan kewajiban yang dikenakan oleh negara.[4] Selain daripada adanya
tumpang-tindih dalam konsep ICESCR dan ICCPR, konsep ICESCR tidak mengikat
secara hukum, sehingga bagi negara hal ini dirasa sangat longgar untuk tidak
diberlakukan. Contohnya, dalam hak kesehatan yang layak, suatu negara
berkewajiban untuk meningkatkan segala aspek kebersihan lingkungan dan industri
masyarakat, tidak ada satu hal pun dalam ICESCR yang menggarisbawahi tentang
tindakan apa ataupun hukum apa yang harus dilakukan untuk implementasi
berlakunya hak tersebut.[5] Artinya,
setiap negara diberikan kebebasan untuk menginterpretasikan standarnya sendiri
tanpa batasan yang jelas.
Konsep-konsep ICESCR bagi
negara-negara berkembang dirasa sangat utopis untuk dilaksanakan, hal ini dapat
dilihat dari beberapa realita yang terjadi di masyarakat. Di Indonesia,
pelayanan kesehatan publik dirasa masih kurang memadai, dilihat dari minimnya
sarana kesehatan seperti rumah sakit, obat-obatan, dan pelayanan lain yang
kurang merata dalam distribusinya. Hal ini dapat kita lihat di Lombok Timur,
dalam satu kawasan yang besar dan padat penduduk hanya didirikan satu rumah
sakit pemerintah dan hanya tersedia sekitar 5 orang dokter spesialis untuk
menangani ratusan pasien, bahkan dalam satu hari sekitar 4 orang meninggal
dalam rumah sakit tersebut karena lambatnya penanganan dari pihak rumah sakit.[6]
Mungkin, bagi negara-negara maju dengan konsep welfare state-nya memang bisa melaksanakan konsep ICESCR dengan
lebih baik. Tetapi, akankah lebih baik jika negara-negara berkembang juga dapat
melaksanakan konsep mulia ini dengan seksama?
Sejatinya,
perjuangan untuk menegakan dan melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
memang sangat membutuhkan kesabaran ekstra. Hasilnya belum tentu bisa dinikmati
dalam waktu yang sekejap. Dalam negara-negara yang concern dengan hak-hak
warganya bergerak dalam evolusi merupakan yang cukup lama. Apa yang
terjadi di wilayah Eropa (khususnya negara-negara Skandinavia) dengan negara kesejahteraannya
(welfare state) adalah hasil dari pergulatan yang panjang antara hak-hak
individu, negara, ekonomi dan masyarakat.
Hak-hak asasi manusia yang universal
itu merupakan hasil proses pengalaman panjang bangsa-bangsa barat. Indonesia
yang tidak memiliki tradisi perlindungan hak asasi manusia, mungkin membutuhkan
waktu lebih lama lagi. Namun kita harus optimis bahwa perlindungan dan
penegakan hak-hak tersebut tetap bisa diaplikasikan di
negeri ini, mengingat karakternya yang universal. Tanpa kegigihan dalam
memperjuangkan hak-hak tersebut, maka, “kontrak sosial” yang kita lakukan
dengan negara niscaya sia-sia. Karena, negara dibentuk untuk mensejahterakan
dan melindungi kepentingan warganya.
[1]Mc Chesney, Alan. “Memajukan dan Membela Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,”
cet 1, (Yogyakarta, Insist Press, 2003)
National Law” (2006-7) 22 American
University International Law Review. Hal.
50 dalam Jurnal ilmiah Brennan, Marietee. “To
Adjudicate and Enfornce Socio-Economic Righs: South Africa Proves That Domestic
Courts Are A Viable Option”
Law Review. Hal 147.
[5] ICESCR, opened for signature 16 December 1966, 999 UNTS 3, 6 ILM,
art 12 (entered into force 3
January 1976). dalam Jurnal ilmiah Brennan, Marietee. “To Adjudicate and Enfornce Socio-Economic Righs: South Africa Proves That Domestic Courts Are A Viable Option”
[6] Wawancara langsung kepada
dr. Erdiansyah Zulyadaini, seorang dokter Rumah Sakit Pemerintah Selor, Lombok Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar