Dimas Valdy Heryana Putra
11/24950
Tokyo Trials (1946)
The International Military Tribunal for the Far Eaast (IMTFE), yang juga
dikenal sebagai Tokyo Trial, pertama kali dikonvensikan pada tanggal 29 April
1946. Pengadilan ini menguji para pemimpin Kerajaan Jepang dalam 3 macam
tuntutan kriminal: Kejahatan “Kelas A” dimana diidentifikasi atas siapa yang
berpartisipasi dan ikut andil dalam konspirasi atas munculnya perang, perang
dunia kedua, dan tuntutan tersebut ditujukan oleh para petinggi atau para decision-makers;
Kejahatan “Kelas B” diidentifikasi atas pihak-pihak yang turut andil dalam
tindakan kriminal yang melukai konsep kemanusiaan dalam masa perang; Kejahatan “Kelas
C” diidentifikasi atas pihak-pihak yang berperan dalam perencanaan, pemesanan, dan otorisasi atau bentuk kegagalan yang berujung pada ketidakmampuan untuk menghentikan pelanggaran.
Pengadilan ini berawal dari sebuah deklarasi yang disuarakan oleh Jendral
Mac Arthur, seorang Jendral Lapangan Amerika Serikat dalam Angkatan Perang Filipina.
Deklarasi tersebut menghimbau untuk
didirikannya sebuah lembaga yang bernama IMFTE. Dalam hari yang sama, Jendral
Macrthur juga menyetujui Piagam IMFTE, dimana dalam piagam tersebut berisi
tentang pelaksanaan atau prosedur teknis bagaimana lembaga tersebut berjalan.
Piagam tersebut secara umum berkiblat pada Nuremberg Trials. Pada tanggal 25 April 1946, dengan berdasarkan
piagam tersebut, IMFTE lahir dan diumumkan secara resmi pada hari tersebut.
Dalam pengadilan tersebut, dua puluh delapan pimpinan militer dan politik
Jepang didakwakan dengan pelanggaran kejahatan “Kelas A“, sedangkan sekitar
5700 warga Jepang didakwakan dengan pelanggaran kejahatan “Kelas B dan C”,
mayoritas didasarkan oleh penyiksaan tawanan perang. Pada pelanggaran “kelas B
dan C” lebih difokuskan pada kekejaman dan pelanggaran perang, seperti
Pembantaian Nanking. Terlepas daripada itu, Cina menggelar 13 pengadilan lain
untuk mengurusi pelanggaran perang yang dilakukan di daratan Cina, hal tersebut
membawa sedikitnya 504 tersangka untuk
dipenjara, dan 149 lainnya dieksekusi mati atas kesalahannya. Kaisar Jepang
Hirohito dan para anggota keluarga kerajaan seperti Pangeran Asaka, tidak
mendapatkan hukuman dan terbukti tidak memiliki keikutsertaan dalam 3 kategori
tuntutan tersebut. Tersangka yang masuk dalam kategori kejahatan “Kelas A” termasuk didalamnya perdana menteri Hideki Tojo; Jendral Seishiro Itagaki dan Sadao
Araki selaku Menteri Perang; Matsuoka Yosuke, Okinori Kaya, dan Shigenori Togo
selaku Menteri Luar Negeri.
Pengadilan tersebut jelas memiliki beberapa celah yang patut dikritik.
Pertama, komposisi dari Jaksa Penuntut. Dalam komposisinya, IMTFE cenderung
berpihak pada Amerika, hal itu dibukikan dengan hanya tersedianya satu tim
penuntut yang dipimpin oleh Joseph B. Keenan, seorang Amerika, dimana
beranggotakan sebelas perwakilan dari sekutu. Susunan tim penuntut tersebut
terlihat berbeda dengan yang dilakukan di Nuremberg Trials. Kedua, adanya
pemaksaan keadilan dari ‘sang pemenang’, hal tersebut dapat dilihat dari
langkah Amerika Serikat dimana merekalah yang mendanai dan melaksanakan segala
macam tuntutan yang direpresentasikan oleh Pimpinan Penuntut, banyak pihak
menilai hal tersebut sangatlah susah untuk menjadikan pengadilan tersebut dapat
berlaku adil dan imparsial ketika sang penuntut merupakan musuh mereka, yang
notabene memenangkan peperangan. Ketiga, tidak ditahannya para anggota keluarga
kerajaan. Dalam sebuah nota, seorang sejarahwan Amerika, Herbert Bix,
memastikan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh Pimpinan Politik maupun
Militer Jepang berdasarkan oleh sepengetahuan dari Kaisar Hirohito. Dan disini
Amerika bertindak untuk tidak menghukum Hirohito supaya pada akhirnya Amerika
dapat mengadakan perubahan dan pengontrolan terhadap Jepang.
Dari hal-hal tersebut dapat kita lihat bahwa sebenarnya segala tindakan kemanusiaan
maupun pengusahaan keadilan yang bergulir di dunia ini pasti bersadarkan oleh
aspek politis. Segala tendensi yang dilakukan pihak-pihak tertentu pasti
dilakukan dengan dasar sekuritisasi kepentingan pribadi. Bagaimana mungkin
Amerika Serikat, dalam hal ini para tim penuntut, tidak menjerat para anggota
kerajaan termasuk Kaisar Hirohito jika Amerika tidak memiliki kepentingan
tertentu atas keadilan yang diusahakan oleh pihak sekutu demi tercapainya
kemanusiaan yang utuh ini. Hak Asasi Manusia yang diharapkan berlangsung adil
pula diyakini pasti memiliki aspek politis maupun kepentingan tertentu dalam
kelahirannya.
Sumber:
Brackman, Arnold C. The Other Nuremberg: the Untold Story of the Tokyo War Crimes Trial.
New York: William Morrow and Company, 1987.
Horowitz, Solis. "The Tokyo Trial" International Conciliation 465 (Nov 1950).
Rees, Laurence (2001). Horror in the East: Japan and the Atrocities of World War II.
Boston: Da Capo Press
Minear, Richard H. (1971). Victor's Justice: The Tokyo War Crimes Trial.
Princeton, New Jersey, USA: Princeton University Press
Piccigallo, Philip R. (1979). The Japanese on Trial: Allied War Crimes Operations in the East,
1945-1951. Austin, Texas, USA: University of Texas Press
Sumber:
Brackman, Arnold C. The Other Nuremberg: the Untold Story of the Tokyo War Crimes Trial.
New York: William Morrow and Company, 1987.
Horowitz, Solis. "The Tokyo Trial" International Conciliation 465 (Nov 1950).
Rees, Laurence (2001). Horror in the East: Japan and the Atrocities of World War II.
Boston: Da Capo Press
Minear, Richard H. (1971). Victor's Justice: The Tokyo War Crimes Trial.
Princeton, New Jersey, USA: Princeton University Press
Piccigallo, Philip R. (1979). The Japanese on Trial: Allied War Crimes Operations in the East,
1945-1951. Austin, Texas, USA: University of Texas Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar