Mohammad Ridwan Riyadi
11/317925/SP/24808
Critical
Review ICESCR (Pelaksanaan Di Indonesia)
Isu
tentang hak asasi manusia telah berkembang dengan pesat sejak awal abad kedua
puluh. Pada dasarnya, HAM mengatur tentang perlindungan hak-hak pribadi, namun
fokus masyarakat internasional lebih kepada perlindungan hak sipil dan hak
politik. Ernst-Ulrich Petersmenn menyatakan bahwa pada abad ke-20, dunia
mengalami “revolusi HAM” tentang penekanan hak-hak ekonomi dan sosial-budaya.[1] Hal
tersebut tidak lepas dari peranan Franklin Roosevelt dalam mengatasi tingkat pengangguran
tinggi yang terjadi di Amerika Serikat. Penekanan hak-hak ekonomi dan
sosial-budaya yang dimiliki tiap orang ini dibuktikan dengan dibuatnya International Covenant on Economic, Social,
and Cultural Rights (ICESCR) pada 16 Desember 1966 yang merupakan salah
satu instrumen dalam Universal
Declaration of Human Rights.
Dalam
kovenan ini, sebagaimana dituliskan pada pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa “semua
rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak tersebut memberikan
mereka kebebasan untuk menentukan status politik dan untuk meraih kemajuan
ekonomi, sosial, dan budaya”.[2] Hak
ekonomi, mencakup hak atas pekerjaan dan buruh; hak sosial, mencakup hak untuk
mendapatkan standar kehidupan layak, hak atas keluarga, serta hak kesehatan
fisik dan mental; hak budaya, mencakup hak atas pendidikan serta hak kehidupan
budaya dan iptek. Indonesia baru meratifikasi kovenan ini pada tahun 2005
setelah diberlakukannya UU No.11 tahun 2005.[3] Hal
ini diharapkan bisa membawa kondisi yang lebih kondusif bagi pemajuan
penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di dalam negeri ini. Namun, nampaknya
Indonesia masih belum bisa melaksanakan isi dari kovensi tersebut secara
maksimal.
Terdapat
beberapa kebijakan pembangunan daerah yang justru malah semakin menyisihkan masyarakat
miskin Indonesia. Misalnya saja pada tahun 2005, pemerintah menyiapkan dana
sebesar Rp.4,7 triliun untuk 15,5 juta keluarga miskin, dana pelayanan kesehatan
sebesar Rp.7,4 triliun, dan untuk pendidikan sebesar Rp.21,5 triliun, sementara
anggaran untuk membayar hutang sebesar Rp.64 triliun.[4] Dampak
kebijakan ini terlihat dalam kasus penghapusan subsidi, komersialisasi
pelayanan kesehatan, hilangnya lahan untuk pangan, dll. Kebijakan pembangunan
yang berpihak pada usaha bisnis skala besar seperti perijinan usaha,
pertambangan, dan perkebunan kepada pihak asing juga telah memberi dampak
negatif bagi masyarakat sekitar, khususnya masyarakat miskin. Kerusakan alam
yang menimbulkan bencana dapat berdampak pada hilangnya hak dasar warga,
termasuk untuk hidup layak. Penggusuran lahan pertanian untuk dijadikan area
perumahan dan industri juga cenderung mengorbankan hak dasar warga yang lemah
secara ekonomi. Kebijakan-kebijakan ini telah berdampak pada meluasnya
kemiskinan dan dilanggarnya hak dasar warga. Dalam pelaksanaan instrumen hak
asasi manusia, khususnya dalam hal ekosob, kinerja pemerintah masih kurang
maksimal dan masih banyak diperlukan perbaikan. Dalam pertemuan Komnas HAM
dengan Panitia Rencana Aksi HAM menunjukan, mayoritas aparat pemerintah tidak
memahami bahwa hak ekosob ini juga merupakan bagian dari hak asasi manusia.[5]
[1] Adolf, Huala.
Hukum Ekonomi Internasional, Suatu
Pengantar. Dikutip dari <http://binchoutan.files.wordpress.com/2008/03/ham-dan-hk-ekonomi-internasional.pdf>
pada tanggal 07 April 2012 pukul 07:50.
[2] International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Preambule, Alinea 3.
[3] Musa Abubar,
‘Hak Ekosob: Pelangaran HAM Berat Yang Terabaikan’. TabloidJubi.com. <http://tabloidjubi.com/index.php/featuresa/interviews-a-indepth-stories/15740-hak-ekosob--pelanggaran-ham-berat-yang-terabaikan>,
diakses pada tanggal 07 April 2012 pukul 08: 17.
[4] Ahmad Baso,
‘Hak Ekosob Di Indonesia’. Syarikat
Indonesia. <http://tabloidjubi.com/index.php/featuresa/interviews-a-indepth-stories/15740-hak-ekosob--pelanggaran-ham-berat-yang-terabaikan>.
Diakses pada tanggal 07 April 2012 pukul 07:28.
[5] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar